Pada hakikatnya, Islam tidak melepaskan kehidupan
rumah tangga berjalan begitu saja tanpa arah petunjuk. Sehingga hawa nafsu
menjadi penentu yang berkuasa. Tidak demikian adanya. Islam telah menggariskan
hak, kewajiban, tugas dan tanggung-jawab antara suami dan istri sesuai dengan
kodrat, kemampuan, mempertimbangkan tabiat dan aspek psikis. Hal tersebut
ditetapkan di atas landasan yang adil lagi bijaksana. Allah Ta’ala berfirman :
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن
يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ
وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنۡ
أَرَادُوٓاْ إِصۡلَٰحٗاۚ وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٢٨
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf.
Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS Al Baqarah : 228)
Jika pasangan suami istri mengerti dan memahami
kewajiban masing-masing, niscaya biduk suatu rumah tangga kaum muslimin akan
berjalan normal, semarak oleh suasana mawaddah dan rahmat. Suami memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Begitu pula, istri juga menjalankan
kewajiban-kewajibannya. Dengan ini, rumah tangga akan menuai kebahagiaan dan
ketentraman. Rumah tangga benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمِنۡ
ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ
إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ
لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir” (QS Ar Ruum :
21)
|
Akan tetapi, kondisi ideal ini, terkadang terganggu
oleh riak-riak yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat mawaddah dan rahmat
antara suami-istri. Suami berbalik membenci istrinya. Pada sebagian suami,
tidak mampu bersabar sehingga tangan kuatnya diayunkan ke tubuh istri, dan
menyebabkan istri mengerang kesakitan. Bekas-bekas penganiayaan pun terlihat
jelas. Istrinya merasa tidak aman dan nyaman hidup dengan lelaki itu. Situasi
kian memanas. Akibat emosi tak terkendali, kadang timbul aksi yang tidak diharapkan,
semisal penganiayaan hingga pembunuhan, baik dari suami maupun istri.
Nas`alullah as-salaamah.
Syaikh ‘Abdur-Rahmaan as-Sudais menyampaikan fakta :
“Ada sejumlah lelaki (suami) yang tidak dikenal
kecuali hanya dengan bahasa perintah dan larangan, hardikan, sifat arogan,
buruk pergaulan, tidak ringan tangan, susah bertoleransi, emosional dan sangat
reaktif. Jika berbicara, perkataannya menunjukkan dirinya bukan orang yang
beradab. Dan bila berbuat, perilakunya mencerminkan kecerobohan. Di dalam rumah,
suka menghitung-hitung kebaikannya di hadapan istri. Bila keluar rumah,
prasangka buruk kepada istri menggelayuti pikirannya. Bukan pribadi yang lembut
dan tidak sayang. Istrinya hidup dalam kesulitan, bergulat dengan kesengsaraan
dan terpaksa mengalami prahara” [1].
[1]. Washaya wa Taujiihatun ila al-Azwaj waz-Zaujat.
MENDATANGKAN DUA PENENGAH DARI MASING-MASING PIHAK
Dalam konteks ini, bila persoalan semakin meruncing, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengarahkan untuk menghadirkan dua penengah dari keluarga suami dan istri.
وَإِنۡ
خِفۡتُمۡ شِقَاقَ بَيۡنِهِمَا فَٱبۡعَثُواْ حَكَمٗا مِّنۡ أَهۡلِهِۦ وَحَكَمٗا
مِّنۡ أَهۡلِهَآ إِن يُرِيدَآ إِصۡلَٰحٗا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيۡنَهُمَآۗ إِنَّ
ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرٗا ٣٥
“Dan jika kamu
khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam [293]
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua
orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(QS An Nisaa' : 35) [2]
[293]. Hakam ialah juru pendamai.
[2]. Adh-Dhamanat, 156-160.
Tugas mereka berdua, mengerahkan segala upaya untuk mengetahui akar permasalahan yang menjadi sebba perseteruan antara suami istri dan menyingkirkannya, serta memperbaiki hubungan suami-istri yang sedang dilanda masalah. Dua penengah ini (hakamain) disyaratkan orang muslim, adil, dikenal istiqamah, keshalihan pribadi dan kematangan berpikir, dan bersepakat atas satu keputusan. Keputusan mereka berkisar pada perbaikan hubungan dan pemisahan antara mereka berdua. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, keputusan dua penengah ini mempunyai kekuatan untuk mempertahankan hubungan atau memisahkan mereka.
TALAK BISA “MENJEMBATANI” KEBUNTUAN ANTARA SUAMI-ISTRI
Pada asalnya, talak bukanlah jalan keluar yang dianjurkan untuk menyelesaikan keretakan hubungan antara suami-istri, jika tidak ada faktor penting dan mendesak yang menjadi penyebabnya. Namun, ketika istri memperlihatkan tanda-tanda kebencian kepada suami, karena istri sering mengalami penindasan, misalnya secara fisik berupa pukulan yang menciderai, siksaan yang berat, kewajiban nafkah tak dipenuhi, terus-menerus dicaci, mendapatkan tuduhan yang bermacam-macam umpamanya, sehingga kehidupan rumah tangga tidak mendukung menjadi keluarga harmonis, maka dalam kondisi ini, talak bisa menjadi jalan keluar bagi mereka berdua.
Konsepsi kehidupan rumah tangga dalam Islam sendiri
bersendikan “pergaulan yang baik, atau dilepaskan dengan cara baik pula”. Hal
ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :
ٱلطَّلَٰقُ
مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَٰنٖۗ وَلَا يَحِلُّ
لَكُمۡ أَن تَأۡخُذُواْ مِمَّآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ شَيًۡٔا إِلَّآ أَن يَخَافَآ
أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَا فِيمَا ٱفۡتَدَتۡ بِهِۦۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا
تَعۡتَدُوهَاۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
٢٢٩
“Talak
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya [144].
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS Al
Baqarah : 229)
[144]. Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan
penerimaan 'iwadh. Kulu' yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran
yang disebut 'iwadh.
Kalau suami ingin tetap hidup bersama istri,
kewajibannya ialah mempergauli istrinya dengan sebaik-baiknya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَحِلُّ لَكُمۡ أَن تَرِثُواْ ٱلنِّسَآءَ كَرۡهٗاۖ
وَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ لِتَذۡهَبُواْ بِبَعۡضِ مَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن
يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن
كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ
خَيۡرٗا كَثِيرٗا ١٩
“Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa [278]
dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata [279]. Dan bergaullah dengan mereka
secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak” (QS An Nisaa'
: 19)
[278]. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak
dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang
meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain
mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan
dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan
kawin lagi.
[279]. Maksudnya : berzina atau membangkang perintah.
Tindakan aniaya terhadap orang lain terlarang.
Demikian juga perbuatan-perbuatan yang merugikan dan membahayakan orang lain.
Apalagi kepada orang yang menjadi pendamping hidup dan bersifat lemah. Orang
terbaik ialah orang yang berlaku baik kepada keluarganya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik
kalian adalah orang yang bersikap baik kepada keluarganya. Dan aku adalah orang
yang terbaik bagi keluargaku” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dâwud).
Kedekatan antara suami dan istri sangat kuat. Dari
seringnya interaksi antara keduanya, masing-masing dapat mudah terpengaruh oleh
kondisi pasangannya. Pengaruh baik akan berdampak positif bagi pasangan. Begitu
pula, keadaan-keadaan yang buruk pun akan mudah berpengaruh pada pasangannya.
Tatkala kesepahaman tidak bisa dipadukan, dan seluruh terapi tidak memberi pengaruh positif bagi perubahan ke arah yang baik, maka kehidupan berumah tangga dengan pasangan bisa menjadi beban berat untuk dipikul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِن
يَتَفَرَّقَا يُغۡنِ ٱللَّهُ كُلّٗا مِّن سَعَتِهِۦۚ وَكَانَ ٱللَّهُ وَٰسِعًا
حَكِيمٗا ١٣٠
“Jika
keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya
dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Bijaksana” (QS An Nisaa' : 130)
BILA SUAMI TIDAK INGIN MENCERAIKAN
Bila kehidupan rumah tangga sudah menjadi beban berat bagi istri sehingga dikhawatirkan tidak mampu lagi menjadi pendamping suami, baik karena perilaku maupun tindak kekerasan yang dilakukan suami atau lainnya, maka dalam keadaan seperti ini, Islam membolehkan wanita mengajukan gugatan cerai kepada suami dengan memberikan ganti rugi harta. Dalam syari’at Islam, gugatan cerai istri atas suaminya ini dinamakan al-khulu’.
Al-Hishnî rahimahullah menjelaskan jenis ketiga dari
keringanan dalam pernikahan dengan menyatakan: Di antaranya, ialah kemudahan
pensyariatan talak (cerai) karena beban berat tinggal berumah tangga, dan
demikian juga al-khulu’. Juga semua yang disyari’atkan hak pilih faskh
(menggagalkan akad) karena kesabaran wanita atas keadaan tersebut merupakan
beban berat (al-masyaqqah), karena syari’at tidak memberikan hak cerai kepada
wanita. [3]
[3] Dinukil dari kitab Dhamanat Huquq al-Mar`ah al-Zaujiyyah, Muhammad Ya’qub ad-Dahlawi, hlm. 149.
Sedangkan Ibnu Qudamah rahimahullah, ketika menjelaskan hikmah disyari’atkannya al-khulu’, ia menyatakan: “Al-khulu’ (disyari’atkan) untuk menghilangkan dharar (kerugian) yang menimpa wanita karena jeleknya pergaulan dan tinggal bersama orang yang tidak ia sukai dan benci”. [4]
[4]. Al-Mughni, 10/269. Dinukil dari Dhamânât, hlm. 149.
Lebih jelas lagi, yaitu pernyataan Ibnul-Qayyim, bahwasanya Allah mensyari’atkan al-khulu’ untuk menghilangkan mafsadat yang berat, menimpa pasangan suami istri dan membebaskan satu dari pasangannya [5]. Apabila suami menyetujuinya, maka rusaklah akad pernikahan keduanya (faskh) dan sang wanita menunggu sekali haidh agar dapat menerima pinangan orang lain.
[5]. I’lâm al-Muwaqqi’în, 4/110.
Namun, apabila suami tidak menerima al-khulu’ (gugatan cerai) istrinya tersebut, maka sang istri dapat mengajukan gugatan cerai kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk pemerintah menangani permasalahan tersebut agar mendapatkan keridhaan suami untuk menerima gugatan cerai tersebut. Sebab, terjadinya al-khulu’, tetap dengan keridhaan suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama bahwasanya al-khulu’ tidak sah kecuali dengan keridhaan suami. [6]
[6]. Shahîh Fiqhis-Sunnah, 3/357.
Oleh karena itu, Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Maka wanita diperbolehkan mengajukan gugatan cerai (al-khulu’) dari suami dan menceraikannya bila suami meridhainya”. [7]
[7]. Al-Muhalla, 1/235.
Demikian, cukup jelas solusi yang diberikan Islam dalam menangani masalah KDRT. Keuntungan dunia dan akhirat akan bisa digapai bila menaatinya. Mudah-mudahan, Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan hati kita untuk menerapkan seluruh syari’at-Nya dalam semua aspek kehidupan kita sehari-hari. Wallahu a’lam.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-761016
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-
Keterangan,
Pemberian foto
bukan dengan niat yang buruk, hanya sebagai ilustrasi untuk menambah daya pikat
bagi kaum muslimin dan muslimat dalam membaca dan mempelajari tulisan ini.
Baca
link terkait D I S I N I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar