1. Memenuhi Tuntutan
Naluri Manusia yang Asasi.
Pernikahan
adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah
dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat
kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran,
kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah
menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Membentengi Akhlaq
yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
Sasaran
utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat
merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan
dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan
pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. [1]
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/424, 425, 432),
al-Bukhari (no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081),
an-Nasa-i (VI/56, 57), ad-Darimi (II/132) dan al-Baihaqi (VII/ 77), dari
Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
3. Menegakkan Rumah
Tangga Yang Islami
Dalam
Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika
suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana
firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat berikut.
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
[Al-Baqarah : 229]
Yakni,
keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla. Dan
dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan
batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat
Al-Baqarah, lanjutan ayat di atas,
“Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) Mengetahui”. [Al-Baqarah : 229]
Jadi,
tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan
syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga
berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan
muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah
memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu harus
kafa-ah dan shalihah.
Kafa-ah
Menurut Konsep Islam
Pengaruh buruk materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit orang tua, pada zaman sekarang ini, yang selalu menitikberatkan pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja dalam memilih calon jodoh putera-puterinya. Masalah kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta saja. Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius.
Agama
Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat
dalam hal pernikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua suami isteri itu,
maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami insya Allah
akan terwujud.
Namun
kafa-ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak
seseorang, bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah
‘Azza wa Jalla memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab maupun non
Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari keduanya melainkan
derajat taqwanya.
Allah
‘Azza wa Jalla berfirman,
“Hai
manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. [Al-Hujuraat : 13]
Bagi
mereka yang sekufu’, maka tidak ada halangan bagi keduanya untuk menikah satu
sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih
berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialis dan mempertahankan adat
istiadat untuk meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur-an dan Sunnah Nabi
yang shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Seorang wanita dinikahi karena
empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka
hendaklah kamu pilih wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu
akan beruntung”. [2]
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5090),
Muslim (no. 1466), Abu Dawud (no. 2047), an-Nasa-i (VI/68), Ibnu Majah (no.
1858), Ahmad (II/428), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
Hadits
ini menjelaskan bahwa pada umumnya seseorang menikahi wanita karena empat hal
ini. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih yang
kuat agamanya, yakni memilih yang shalihah karena wanita shalihah adalah
sebaik-baik perhiasan dunia, agar selamat dunia dan akhirat.
Namun,
apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik, atau memiliki
harta yang melimpah, atau karena sebab lainnya, tetapi kurang agamanya, maka
bolehkah laki-laki tersebut menikahinya? Para ulama membolehkannya dan
pernikahannya tetap sah.
Allah
menjelaskan dalam firman-Nya,
“Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)”. [An-Nuur : 26]
Memilih
Calon Isteri Yang Shalihah
Seorang
laki-laki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula
wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut
Al-Qur-an, wanita yang shalihah adalah,
“....
Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)...”.
[An-Nisaa' : 34]
Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah”. [3]
“ Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah”. [3]
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1467), an-Nasa-i
(VI/69), Ahmad (II/168), Ibnu Hibban (no. 4020 -at-Ta’liqaatul Hisaan) dan
al-Baihaqi (VII/80) dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma.
Dalam
hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya”. [4]
“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya”. [4]
[4]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/68), al-Hakim
(II/161) dan Ahmad (II/251, 432, 438), dari Shahabat Abu Hurairah
radhi-yallaahu ‘anhu. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 1838).
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
:
“Empat hal yang merupakan kebahagiaan; isteri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan; tetangga yang jahat, isteri yang buruk, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek”. [5]
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 4021
-at-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban) dari hadits Sa’ad bin Abi
Waqqash secara marfu’. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 282).
Menurut
Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama bahwa di antara
ciri-ciri wanita shalihah ialah :
1.
Taat
kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya,
2.
Taat
kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada serta
menjaga harta suaminya,
3.
Menjaga
shalat yang lima waktu,
4.
Melaksanakan
puasa pada bulan Ramadhan,
5.
Memakai
jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan
(tabarruj) seperti wanita Jahiliyyah. [6]
6.
Berakhlak
mulia,
7.
Selalu
menjaga lisannya,
8.
Tidak
berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya
karena yang ke-tiganya adalah syaitan,
9.
Tidak
menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya,
10.
Taat
kepada kedua orang tua dalam kebaikan,
11.
Berbuat
baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at.
[6]. Lihat surat Al-Ahzaab (33) ayat 33.
Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga yang Islami akan terwujud.
Sebagai
tambahan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih
wanita yang subur (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan
generasi penerus ummat.
4. Meningkatkan Ibadah
Kepada Allah
Menurut
konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah
‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini,
rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih di
samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri
pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“... Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah sedekah !”
(Mendengar
sabda Rasulullah, para Shahabat keheranan) lalu bertanya, “Wahai
Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap
isterinya akan mendapat pahala?”
Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bagaimana
menurut kalian jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain isterinya,
bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat
yang halal), dia akan memperoleh pahala”. [7]
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1006),
al-Bukhari dalam al-Adaabul Mufrad (no. 227), Ahmad (V/167, 168), Ibnu Hibban
(no. 4155 -at-Ta’liiqatul Hisaan) dan al-Baihaqi (IV/188), dari Abu Dzarr
radhiyallaahu ‘anhu.
5. Memperoleh Keturunan
Yang Shalih
Tujuan
pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih, untuk
melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa
Jalla,
“Allah menjadikan bagi kamu
isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri
kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik.
Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah
?" [An-Nahl : 72]
Yang
terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi
berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak
yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Tentunya
keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam
yang benar. Hal ini mengingat banyaknya lembaga pendidikan yang berlabel Islam,
tetapi isi dan caranya sangat jauh bahkan menyimpang dari nilai-nilai Islami
yang luhur. Sehingga banyak kita temukan anak-anak kaum muslimin yang tidak
memiliki akhlak mulia yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, disebabkan karena
pendidikan dan pembinaan yang salah. Oleh karena itu, suami maupun isteri
bertanggung jawab untuk mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke
jalan yang benar, sesuai dengan agama Islam.
Tentang tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam
-------------------------------------------------------------------------
diambil dari buku Bingkisan Istimewa
Menuju Keluarga Sakinah
oleh, Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa
Barat,
Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006
-------------------------------------------------------------------------
Keterangan,
Pemberian foto bukan dengan niat yang buruk, hanya
sebagai ilustrasi untuk menambah daya pikat bagi kaum muslimin dan muslimat
dalam membaca dan mempelajari tulisan ini