Siapakah Wanita Pilihan? Siapakah
Lelaki Pilihan? Khitbah (Meminang)
Nikah
termasuk salah satu di antara Sunnah para Rasul yang paling ditekankan, Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan sesungguhnya kami telah
mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka
isteri-isteri dan keturunan”.
[Ar-Ra’d: 38]
Dimakruhkan
meninggalkan Sunnah ini tanpa alasan, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata :
Ada tiga
laki-laki datang ke rumah isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
menanyakan tentang ibadah beliau, setelah diceritakan kepada mereka, maka
mereka merasa bahwa ibadah mereka itu sedikit.
kemudian
mereka berkata, “Di manakah posisi kami dibanding Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam sedangkan beliau telah diampuni segala dosanya, baik yang
telah lalu maupun yang akan datang”.
Maka
salah seorang di antara mereka berkata, “Aku akan shalat malam selamanya”.
Seorang
lagi berkata, “Aku akan berpuasa sepanjang tahun tanpa berbuka”.
dan yang
lain berkata, ‘Aku akan menghindari wanita dan tidak akan menikah selamanya”.
Kemudian
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dan bersabda, “Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah,
sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah
daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur serta
menikahi wanita. Barangsiapa membenci Sunnahku, maka ia tidak termasuk
golonganku”. [1]
[1]. Muttafaq ‘alaihi : Shahiih al-Bukhari dan ini adalah
lafazhnya (IX/104, no. 5063), Shahiih Muslim (II/1020, no. 1401), Sunan
an-Nasa-i (VI/60).
Bagi
orang yang telah mampu dan takut dirinya terjatuh ke dalam perbuatan keji, maka
nikah adalah wajib hukumnya, karena zina dan segala sesuatu yang mendorong
seseorang kepada perbuatan tersebut adalah haram. Orang yang takut dirinya akan
terjerumus kepada perbuatan zina, maka ia harus mengantisipasinya. Dan apabila
hal itu tidak dapat tercapai kecuali dengan menikah, maka wajib baginya untuk
menikah.[2]
[2]. As-Sailul
Jarraar (II/243)
Adapun
bagi yang belum mampu untuk menikah sedangkan ia sudah sangat berhasrat, maka
hendaknya ia berpuasa, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata,
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami :
“Wahai kaum muda, barangsiapa di
antara kalian telah mampu maka hendaknya menikah, karena ia lebih menundukkan
pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka
hendaknya ia berpuasa, sebab ia dapat mengekangnya”. [3]
[3]. Muttafaq
‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/112, no. 5066), Shahiih Muslim (II/1018, no.
1400), Sunan Abi Dawud (VI/39, no. 2031), Sunan at-Tirmidzi (II/272, no. 1087),
Sunan an-Nasa-i (VI/56), Sunan Ibni Majah (I/592, no. 1845)
Siapakah Wanita
Pilihan ?
Barangsiapa yang ingin menikah, maka hendaknya ia mencari seorang wanita yang memiliki kriteria sebagai berikut :
1.
Taat
beragama, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau bersabda :
“Wanita itu dinikahi karena empat
hal : karena harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Maka dapatkanlah wanita
yang taat beragama niscaya kamu beruntung”. [4]
[4]. Muttafaq
‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/132, no. 5090), Shahiih Muslim (II/1086, no.
1466), Sunan Abi Dawud (VI/42, no. 2032), Sunan Ibni Majah (I/597, no. 1858),
Sunan an-Nasa-i (VI/68)
2.
Masih
gadis, kecuali jika ada mashlahat baginya untuk menikahi wanita janda, karena
telah disebutkan dalam satu riwayat bahwasanya Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu
anhu berkata :
“Aku telah menikahi seorang wanita
di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala bertemu dengan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bertanya, ‘Wahai Jabir, apakah
engkau telah menikah?’ aku menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau bertanya, ‘Dengan
gadis atau janda?’ Aku menjawab, ‘Seorang janda.’ Beliau bersabda, ‘Mengapa
engkau tidak memilih seorang gadis sehingga engkau dapat bercanda dengannya?’
Kemudian aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku me-miliki beberapa
saudara perempuan sehingga aku takut akan terjadi kesalahpahaman.’ Maka beliau
bersabda, ‘Jika demikian adanya, maka tidak masalah. Sesungguhnya wanita itu
dinikahi karena agama, harta dan kecantikannya, maka nikahilah wanita yang taat
beragama niscaya engkau akan bahagia”.
[5]
[5]. Muttafaq
‘alaih: Shahiih Muslim (II/1087, no. 715) dan ini adalah lafazh-nya, dan dengan
lafazh yang semisalnya tanpa kalimat yang terakhir, diriwayatkan dalam Shahiih
al-Bukhari (IX/121, no. 5079), Sunan Abi Dawud (VI/43, no. 2033), Sunan
at-Tirmidzi (II/280, no. 1106), Sunan Ibni Majah (1/598, no. 1860), Sunan
an-Nasa-i (VI/65) dengan lafazh Muslim dan sedikit tambahan.
3.
Wanita
yang subur, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Anas bin Malik
Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :
“Nikahilah wanita yang subur
peranakannya dan penyayang, sebab aku akan berbangga di hadapan umat lain
dengan jumlah kalian yang banyak”.
[6]
[6]. Shahih:
[Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2940)], [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1784)],
Sunan Abi Dawud (VI/47, no. 2035), Sunan an-Nasa-i (VI/65).
Siapakah Lelaki
Pilihan ?
Apabila
seorang lelaki dianjurkan untuk mencari wanita berkriteria seperti yang telah disebutkan
di atas, maka bagi wali wanita juga berkewajiban untuk mencari lelaki shalih
yang akan dinikahkan dengan anaknya. Abu Hatim al-Muzani Radhiyallahu anhu
berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Jika datang kepada kalian seseorang
yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak wanita
kalian), jika tidak maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”. [7]
[7]. Shahih:
[Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 866)], Sunan at-Tirmidzi (II/ 274, no. 1091)
Dan
tidaklah mengapa apabila seorang wali menawarkan puteri atau saudara wanitanya
kepada orang-orang yang shalih, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Bahwasanya
tatkala Hafshah binti ‘Umar Radhiyallahu anhuma di tinggal mati oleh suaminya
yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin
al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan
Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa
hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk
tidak menikah pada saat sekarang.’ ‘Umar berkata, ‘Kemudian aku menemui Abu
Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku nikahkan engkau dengan
Hafshah binti ‘Umar.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun
dan pada saat itu aku merasa lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada
‘Utsman. Beberapa hari berlalu sampai kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam meminangnya, maka aku nikahkan ia dengan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Engkau marah
kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah akan tetapi aku tidak berkomentar
apa-apa?’ ‘Umar menjawab ‘Ya’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada
sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu kecuali karena aku tahu
bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutnya
(Hafshah). Aku tidak ingin menyebarluaskan rahasia Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, jika beliau meninggalkannya, maka niscaya aku akan
menerimanya”. [8]
[8]. Shahih:
[Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3047)], Shahiih al-Bukhari (IX/ 175, no. 5122),
Sunan an-Nasa-i (VI/77). Lihat kitab Fat-hul Baari (IX/ 83) terbitan Daar
ar-Rayyan.
Melihat Wanita Yang Dipinang
Barangsiapa
yang hatinya berhasrat ingin meminang seorang wanita, maka disyari’atkan
baginya untuk melihatnya sebelum ia meminang.
Muhammad
bin Maslamah Radhiyallahu anhu berkata, “Aku
meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi dan mengintip wanita tersebut
sehingga aku dapat melihatnya”.
Kemudian
dikatakan kepadanya, “Bagaimana engkau
melakukan hal ini sedangkan engkau adalah Sahabat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam?”.
Dia menjawab,
“Aku telah mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Jika Allah menaruh hasrat
kepada hati seorang laki-laki untuk melamar seorang wanita, maka tidak mengapa
jika ia melihat wanita tersebut”.
[9]
[9]. Shahih:
[Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 151)], Sunan Ibni Majah (I/599, no. 1864).
Dari
Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
mengabarkan kepada beliau bahwasanya aku melamar seorang wanita, maka beliau
bersabda :
“Pergi dan lihatlah wanita tersebut,
karena dengan melihatnya dapat lebih mengekalkan kasih sayang di antara kalian
berdua”. [10]
[10]. Shahih:
[Shahiih as-Sunan at-Tirmidzi (no. 868)], Sunan an-Nasa-i (VI/ 69) dan ini
adalah lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (II/275, no. 1093) dan dalam riwayatnya
dengan lafazh “فَإِنَّهُ أَحْرَى”
Khitbah (Meminang)
Khitbah
artinya melamar seorang wanita untuk dijadikan isterinya dengan cara yang telah
diketahui di kalangan masyarakat. Jika telah tercapai kesepakatan, maka hal
tersebut hanyalah satu janji kesepakatan untuk menikah, lelaki yang melamar
tersebut tidak diperbolehkan untuk melakukan apa pun terhadap wanita yang
dilamarnya karena statusnya masih orang lain sampai ia diikat dengan tali
pernikahan.
Dan
tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk melamar seorang wanita yang telah
dilamar saudaranya, sebagaimana perkataan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang sebagian dari kalian membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh orang
lain. Dan janganlah seseorang melamar wanita yang masih dilamar oleh saudaranya
sampai orang tersebut meninggalkannya atau mengizinkannya”. [11]
[11]. Shahih:
[Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3037)], Shahiih al-Bukhari (IX/198, no. 5142),
Sunan an-Nasa-i (VI/73)
Demikian
juga tidak boleh melamar wanita yang sedang dalam ‘Iddah thalaq Raj’i (masa
penantian seorang wanita setelah ditalak dan masih dapat rujuk kembali), karena
statusnya masih sebagai isteri orang lain.
sebagaimana
ia juga tidak diperbolehkan untuk tashrih (secara terang-terangan) melamar
wanita yang masih dalam ‘iddah thalaq ba’in (masa penantian seorang wanita
setelah talak yang tidak dapat rujuk kembali) atau karena meninggalnya suami.
akan
tetapi tidak mengapa baginya untuk ta’ridh (dengan sindiran). Sebagaimana
firman Allah Ta’ala :
“Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu”.
[Al-Baqarah:
235]
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
diambil
dari dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz
Oleh,
Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi
Edisi Indonesia
Panduan Fiqih Lengkap
Penerjemah
Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta
Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Keterangan,
Pemberian foto bukan dengan niat yang buruk, hanya sebagai
ilustrasi untuk menambah daya pikat bagi kaum muslimin dan muslimat dalam
membaca dan mempelajari tulisan ini