web widgets

Jumat, 09 Maret 2012

DENGAN IKHLAS MENGGAPAI RIDHA ILLAHI


“Nilai ibadah seorang hamba di hadapan Allah, ditunjukkan dengan keikhlasannya.
Tanpa keikhlasan, amal seorang hamba itu tidaklah bermakna apa-apa”

Menyikapi kalimat tersebut, maka kita bisa mengatakan bahwa “Ikhlas” adalah persoalan hati, yang tentu saja tidak bisa diukur sebatas mana kadar keikhlasan seseorang dari setiap hal yang diterima, juga kadar keikhlasan seseorang dari setiap hal yang dilakukan.

Terkait hal itu pula, dalam agama,  ikhlas merupakan ibadah hati yang paling mendapatkan perhatian para ulama. Sesuatu yang tidak mudah, serta sulit didefinisikan karena menyangkut persoalan hati.

Seperti dikatakan Ibnu Qayyim, “ikhlas adalah memurnikan niat dan segala aktifitas sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi, hanya untuk mencari ridha-Nya”.

Tentunya seorang hamba yang terlatih dengan jiwa “Ikhlas”, tidak akan mungkin melakukan aktifitas dengan tujuan mencari pujian, popularitas, berebut jabatan atau kedudukan. Dimana orang yang mencari jabatan atau kedudukan tentu saja memiliki maksud (interest) tertentu yang seringkali di dorong oleh hawa nafsu.

Bahkan adakalanya dan seringkali pula seseorang dalam melakukan suatu aktifitas karena beringinan untuk menjadi terkenal, menjadi buah bibir, ingin mendapat penghormatan, ingin mendapat pujian dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, seseorang yang melakukan aktifitas dengan mengharapkan hal tersebut, akan kecewa apabila yang diinginkan tidak terwujud. Bahkan tidak mustahil akan berputus asa serta jera dalam melakukan hal yang sama.

Tentunya hal yang demikian ini mengindikasikan tidak adanya keikhlasan dalam suatu perbuatan, baik berupa amal yang langsung berhubungan dengan Allah SWT, maupun amal sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Macam-macam ungkapan ulama salaf tentang ikhlas. Ada yang mengatakan bahwa ikhlas adalah amal ibadah hanya karena Allah SWT, tidak ada bagian selain-Nya, dan hanya bertujuan meng”Esa”kan Allah SWT. Dalam perbuatan taat, untuk membersihkan perhatian semua makhluk daripada-Nya, serta membersihkan amal dari setiap sebab-sebab yang membuatnya tidak berguna.

Karena itu ada satu riwayat yang menarik untuk diperhatikan,
Suatu ketika Abu Ummah al-Bahili ra (W. 86 H), salah seorang sahabat setia Nabi, asal Syam (Suriah) bercerita, ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad SAW, dan kemudian bertanya, “wahai Rasulullah, apa pendapat Tuan ketika melihat seseorang yang berperang, tapi mendapat upah dan ketenaran?”

Rasulullah SAW, menjawab “ dia tidak mendapatkan apa-apa !”
Laki-laki itu bertanya lagi hingga tiga kali, dan jawaban Rasulullah SAW tetap tidak berubah.
Akhirnya Rasulullah SAW berkata untuk yang terakhir kalinya “sesungguhnya Allah tidak menerima amal seseorang tanpa ia ikhlas melakukannya dan semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah” (HR. An-Nasai)

Jelas dari hadits tersebut, Nabi Muhammad SAW, mengajarkan kepada kita untuk melakukan segala sesuatu dengan ikhlas, tanpa pamrih. Segala bentuk benda dan materi yang didapatkan seseorang sejatinya tidak akan berarti apa-apa di sisi Allah SWT, ketika hasil itu didapatkan dari jalan yang tidak halal, dan amal perbuatan seorang hambapun tak lagi bernilai bagi Allah SWT, saat dia melakukannya dengan keterpaksaan.

Ikhlas dan tidaknya seseorang dalam beramal tidak akan diketahui secara lahiriah, karena ia ada di dalam hati. Hanya Allah SWT dan diri kita sendiri yang tahu.

Ketika seseorang bersedekah dengan mewakafkan seluruh harta yang dimiliki, jika sekedar ingin disebut darmawan, walaupun rasa itu kecil sekali adanya, tetap saja sama sekali tidak bernilai apapun. Bekerja siang malam bersimbah peluh dan berkuah keringat demi menafkahi anak dan istri, kalau tidak ikhlas, maka tak ada nilainya di hadapan Allah SWT.

Berceramah dengan memberikan nasihat, mengemukakan dalil-dalil, bila hanya sekedar memamerkan kemampuan berbicara, kemampuan berbahasa arab, atau hanya untuk memamerkan hafalan al-Quran dan al-Hadits, meski mulut sampai berbusa sekalipun, tetap tidak akan ada nilainya dihadapan Allah SWT.

Shalat sunnah berpuluh rakaat setiap hari, kalau sekedar ingin disebut sebagai ahli ibadah, atau ingin dipuji walaupun rasa itu kecil sekali adanya, maka shalatnya itu hanya sebagai gerakan-gerakan yang tidak berarti dan tidak bernilai dihadapan Allah SWT.

Menurut seorang praktisi pendidikan Sirajuddin SA, dalam bukunya “Temui Aku Di Akhir Malam” makna esensial yang terkandung dari konsepsi ikhlas adalah perjuangan yang semata-mata di dorong oleh cita-cita atau keinginan hati nurani yang bersih untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama makhluk Allah atau materi, agar manusia menghambakan dirinya dan menyembah hanya kepada-Nya.

Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Bayyinah (5) : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus

Dalam konteks ini, setiap kali seseorang melakukan ibadah, baik itu ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah (mahdah), maupun ibadah sosial (muamalah), harus ada semangat ketulusan atau keikhlasan sebagai ruh dan jiwa ibadah itu sendiri. dimana ikhlas dalam ibadah, berarti pula tidak mempersekutukan Allah ‘kepada sesuatu apapun’ terkecuali dengan hanya mengharap ridha-Nya semata.

Dengan demikian, maka jelas bahwa nilai ibadah seorang hamba dihadapan Allah SWT ditunjukkan oleh keikhlasannya. yaitu seorang hamba yang ikhlas dengan sungguh-sungguh berusaha dan tidak menyertakan kepentingan peribadi di dunia ataupun imbalan duniawi dari apa yang dilakukannya.

Keinginan seorang hamba yang ikhlas hanya satu, yakni, bagaimana agar apa yang dilakukannya dapat diterima oleh Allah SWT, dan bisa dikatakan bahwa seorang hamba yang ikhlas akan lebih mengutamakan pandangan Allah daripada pandangan manusia.

Namun demikian, tidak mudah bagi seorang hamba untuk bisa menggapai keikhlasan yang sebenarnya. Selain karena persoalan hati dimana hanya Allah saja yang mengetahuinya, juga seorang hamba harus rela mengorbankan segala kepentingan yang sifatnya peribadi, yang secara duniawi tentu saja sangat dibutuhkan, seperti harta, jabatan, popularitas dan lain sebagainya.

Menurut Aa. Gym, seperti yang pernah dimuat di www.pikiran-rakyat.com, sehebat apapun ketenaran di sisi manusia, tiada berarti dihadapan Allah andaikata tidak memiliki keikhlasan.
Seorang hamba juga tidak boleh mabuk pujian, karena pujian hanya sangkaan orang pada kita, padahal kita tahu keadaan diri kita yang sebenarnya.
Bagi seorang yang ikhlas, dipuji, dihargai, tidak dipuji, atau juga dicaci, tentunya sama saja. Karena baginya pujian dari Allah-lah yang terpenting. Allah-lah tujuan dari segala amalnya. Dan seorang hamba tidak silau akan jabatan, mengingat Allah tidak pernah menilai pangkat dan jabatan seseorang, namun yang dinilai adalah tanggung jawab terhadap amanah dari jabatannya tersebut.
Orang yang ikhlas seyogyanya membuat peribadinya lebih tenang, lebih kuat dan mantap. Keikhlasan menjadikan peribadinya lebih berani, kokoh, tegar dan penuh dengan cahaya keindahan.
Sedangkan keikhlasan dalam beramal, akan menjadikan amal tersebut terasa nikmat, yang pada akhirnya bisa membuat jiwa menjadi merdeka dan tidak diperbudak oleh apapun selain keinginan hanya kepada Allah SWT semata.

Maka bisa dikatakan bahwa ruh-nya amal adalah ikhlas. Tanpa keikhlasan, maka semua akan terasa berat serta sia-sia.
Sedangkan keikhlasan adalah satu-satunya jalan menuju ridha dan kasih sayang Allah SWT.







 
beberapa isi diambil dari “Hidayah edisi 61”