“Nilai
ibadah seorang hamba di hadapan Allah, ditunjukkan dengan keikhlasannya.
Tanpa
keikhlasan, amal seorang hamba itu tidaklah bermakna apa-apa”
Menyikapi
kalimat tersebut, maka kita bisa mengatakan bahwa “Ikhlas” adalah persoalan
hati, yang tentu saja tidak bisa diukur sebatas mana kadar keikhlasan seseorang
dari setiap hal yang diterima, juga kadar keikhlasan seseorang dari setiap hal
yang dilakukan.
Terkait
hal itu pula, dalam agama, ikhlas
merupakan ibadah hati yang paling mendapatkan perhatian para ulama. Sesuatu
yang tidak mudah, serta sulit didefinisikan karena menyangkut persoalan hati.
Seperti
dikatakan Ibnu Qayyim, “ikhlas adalah
memurnikan niat dan segala aktifitas sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi,
hanya untuk mencari ridha-Nya”.
Tentunya
seorang hamba yang terlatih dengan jiwa “Ikhlas”, tidak akan mungkin melakukan
aktifitas dengan tujuan mencari pujian, popularitas, berebut jabatan atau
kedudukan. Dimana orang yang mencari jabatan atau kedudukan tentu saja memiliki
maksud (interest) tertentu yang
seringkali di dorong oleh hawa nafsu.
Bahkan
adakalanya dan seringkali pula seseorang dalam melakukan suatu aktifitas karena
beringinan untuk menjadi terkenal, menjadi buah bibir, ingin mendapat
penghormatan, ingin mendapat pujian dan lain sebagainya.
Oleh
karena itu, seseorang yang melakukan aktifitas dengan mengharapkan hal
tersebut, akan kecewa apabila yang diinginkan tidak terwujud. Bahkan tidak
mustahil akan berputus asa serta jera dalam melakukan hal yang sama.
Tentunya
hal yang demikian ini mengindikasikan tidak adanya keikhlasan dalam suatu
perbuatan, baik berupa amal yang langsung berhubungan dengan Allah SWT, maupun amal
sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Macam-macam
ungkapan ulama salaf tentang ikhlas. Ada yang mengatakan bahwa ikhlas adalah
amal ibadah hanya karena Allah SWT, tidak ada bagian selain-Nya, dan hanya
bertujuan meng”Esa”kan Allah SWT.
Dalam perbuatan taat, untuk membersihkan perhatian semua makhluk daripada-Nya,
serta membersihkan amal dari setiap sebab-sebab yang membuatnya tidak berguna.
Karena
itu ada satu riwayat yang menarik untuk diperhatikan,
Suatu
ketika Abu Ummah al-Bahili ra (W. 86
H), salah seorang sahabat setia Nabi, asal Syam (Suriah) bercerita, ada seorang
laki-laki datang kepada Nabi Muhammad SAW, dan kemudian bertanya, “wahai
Rasulullah, apa pendapat Tuan ketika melihat seseorang yang berperang, tapi
mendapat upah dan ketenaran?”
Rasulullah
SAW, menjawab “ dia tidak mendapatkan apa-apa !”
Laki-laki
itu bertanya lagi hingga tiga kali, dan jawaban Rasulullah SAW tetap tidak
berubah.
Akhirnya
Rasulullah SAW berkata untuk yang terakhir kalinya “sesungguhnya Allah tidak
menerima amal seseorang tanpa ia ikhlas melakukannya dan semata-mata untuk
mendapatkan ridha Allah” (HR. An-Nasai)
Jelas
dari hadits tersebut, Nabi Muhammad SAW, mengajarkan kepada kita untuk
melakukan segala sesuatu dengan ikhlas, tanpa pamrih. Segala bentuk benda dan
materi yang didapatkan seseorang sejatinya tidak akan berarti apa-apa di sisi
Allah SWT, ketika hasil itu didapatkan dari jalan yang tidak halal, dan amal
perbuatan seorang hambapun tak lagi bernilai bagi Allah SWT, saat dia
melakukannya dengan keterpaksaan.
Ikhlas
dan tidaknya seseorang dalam beramal tidak akan diketahui secara lahiriah,
karena ia ada di dalam hati. Hanya Allah SWT dan diri kita sendiri yang tahu.
Ketika
seseorang bersedekah dengan mewakafkan seluruh harta yang dimiliki, jika
sekedar ingin disebut darmawan, walaupun rasa itu kecil sekali adanya, tetap
saja sama sekali tidak bernilai apapun. Bekerja siang malam bersimbah peluh dan
berkuah keringat demi menafkahi anak dan istri, kalau tidak ikhlas, maka tak
ada nilainya di hadapan Allah SWT.
Berceramah
dengan memberikan nasihat, mengemukakan dalil-dalil, bila hanya sekedar
memamerkan kemampuan berbicara, kemampuan berbahasa arab, atau hanya untuk
memamerkan hafalan al-Quran dan al-Hadits, meski mulut sampai berbusa
sekalipun, tetap tidak akan ada nilainya dihadapan Allah SWT.
Shalat
sunnah berpuluh rakaat setiap hari, kalau sekedar ingin disebut sebagai ahli
ibadah, atau ingin dipuji walaupun rasa itu kecil sekali adanya, maka shalatnya
itu hanya sebagai gerakan-gerakan yang tidak berarti dan tidak bernilai
dihadapan Allah SWT.
Menurut seorang
praktisi pendidikan Sirajuddin SA, dalam bukunya “Temui Aku Di Akhir Malam” makna esensial yang terkandung dari
konsepsi ikhlas adalah perjuangan yang semata-mata di dorong oleh cita-cita
atau keinginan hati nurani yang bersih untuk membebaskan manusia dari
penyembahan kepada sesama makhluk Allah atau materi, agar manusia menghambakan
dirinya dan menyembah hanya kepada-Nya.
Ini sesuai
dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Bayyinah (5) : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus”
Dalam konteks
ini, setiap kali seseorang melakukan ibadah, baik itu ibadah yang langsung
berhubungan dengan Allah (mahdah),
maupun ibadah sosial (muamalah),
harus ada semangat ketulusan atau keikhlasan sebagai ruh dan jiwa ibadah itu
sendiri. dimana ikhlas dalam ibadah, berarti pula tidak mempersekutukan Allah ‘kepada
sesuatu apapun’ terkecuali dengan hanya mengharap ridha-Nya semata.
Dengan demikian,
maka jelas bahwa nilai ibadah seorang hamba dihadapan Allah SWT ditunjukkan oleh
keikhlasannya. yaitu seorang hamba yang ikhlas dengan sungguh-sungguh berusaha dan
tidak menyertakan kepentingan peribadi di dunia ataupun imbalan duniawi dari
apa yang dilakukannya.
Keinginan
seorang hamba yang ikhlas hanya satu, yakni, bagaimana agar apa yang
dilakukannya dapat diterima oleh Allah SWT, dan bisa dikatakan bahwa seorang
hamba yang ikhlas akan lebih mengutamakan pandangan Allah daripada pandangan
manusia.
Namun demikian,
tidak mudah bagi seorang hamba untuk bisa menggapai keikhlasan yang sebenarnya.
Selain karena persoalan hati dimana hanya Allah saja yang mengetahuinya, juga
seorang hamba harus rela mengorbankan segala kepentingan yang sifatnya
peribadi, yang secara duniawi tentu saja sangat dibutuhkan, seperti harta,
jabatan, popularitas dan lain sebagainya.
Menurut Aa.
Gym, seperti yang pernah dimuat di www.pikiran-rakyat.com,
sehebat apapun ketenaran di sisi manusia, tiada berarti dihadapan Allah
andaikata tidak memiliki keikhlasan.
Seorang hamba
juga tidak boleh mabuk pujian, karena pujian hanya sangkaan orang pada kita,
padahal kita tahu keadaan diri kita yang sebenarnya.
Bagi seorang
yang ikhlas, dipuji, dihargai, tidak dipuji, atau juga dicaci, tentunya sama
saja. Karena baginya pujian dari Allah-lah yang terpenting. Allah-lah tujuan
dari segala amalnya. Dan seorang hamba tidak silau akan jabatan, mengingat
Allah tidak pernah menilai pangkat dan jabatan seseorang, namun yang dinilai
adalah tanggung jawab terhadap amanah dari jabatannya tersebut.
Orang yang
ikhlas seyogyanya membuat peribadinya lebih tenang, lebih kuat dan mantap. Keikhlasan
menjadikan peribadinya lebih berani, kokoh, tegar dan penuh dengan cahaya keindahan.
Sedangkan
keikhlasan dalam beramal, akan menjadikan amal tersebut terasa nikmat, yang
pada akhirnya bisa membuat jiwa menjadi merdeka dan tidak diperbudak oleh
apapun selain keinginan hanya kepada Allah SWT semata.
Maka bisa
dikatakan bahwa ruh-nya amal adalah ikhlas. Tanpa keikhlasan, maka semua akan
terasa berat serta sia-sia.
Sedangkan
keikhlasan adalah satu-satunya jalan menuju ridha dan kasih sayang Allah SWT.
beberapa isi diambil dari “Hidayah edisi 61”