Sebelum
membahas hukumnya, terlebih dahulu kita harus mengetahui kedudukan para ulama
dan orang-orang shalih di sisi Allah, serta kewajiban kita terhadap mereka.
Para ulama memiliki kedudukan yang mulia dan agung di sisi Allah. Allah telah
meninggikan derajat mereka dan mengistimewakan mereka dari yang lainnya.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Hai orang-orang
beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
[Al Mujaadilah : 11]
Dalam
ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,
Banyak
nash-nash yang menyebutkan keutamaan dan keistimewaan Ahli Ilmu. Konsekuensi
dari nash-nash tersebut, adalah wajibnya menghormati dan menjunjung tinggi
kehormatan para ulama. Karena mereka merupakan pewaris Nabi, penerus misi
dakwah yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
sahabat Beliau Radhiyallahu 'anhum.
Dalam sebuah atsar (riwayat) yang populer disebutkan, jadilah seorang alim, atau seorang penuntut ilmu, atau seorang penyimak ilmu yang baik, atau seorang yang mencintai Ahli Ilmu dan janganlah jadi yang kelima, niscaya kalian binasa. [1]
Dalam sebuah atsar (riwayat) yang populer disebutkan, jadilah seorang alim, atau seorang penuntut ilmu, atau seorang penyimak ilmu yang baik, atau seorang yang mencintai Ahli Ilmu dan janganlah jadi yang kelima, niscaya kalian binasa. [1]
[1]. Disebutkan
oleh Al-Haitsami dalam Ma’maj Az-Zawaaid (I/122) ia berkata: “Diriwayatkan oleh
Ath-Thabraani dalam ketiga mu’jamnya dan Al-Bazzar, para perawinya tsiqah.”
Salah
seorang ulama Salaf mengatakan, "Maha suci
Allah, Dia telah memberi jalan keluar bagi kaum muslimin. Yakni tidak akan
keluar dari keempat golongan manusia yang dipuji tadi, melainkan golongan yang
kelima, golongan yang binasa. Yaitu seorang yang bukan alim, bukan penuntut
ilmu, bukan penyimak yang baik dan bukan pula orang yang mencintai Ahli Ilmu.
Dialah orang yang binasa. Sebab, barangsiapa membenci Ahli Ilmu, berarti ia
pasti mengharapkan kebinasaan mereka. Dan barangsiapa yang mengharapkan
kebinasaan Ahli Ilmu, berarti ia menyukai padamnya cahaya Allah di atas muka
bumi. Sehingga kemaksiatan dan kerusakan merajalela. Kalau sudah begitu
keadaannya, dikhawatirkan tidak akan ada amal yang terangkat. Demikianlah yang
dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri”.
Menghormati ulama termasuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu memuliakan orang tua yang muslim, orang yang hafal Al Qur'an tanpa berlebih-lebihan atau berlonggar-longgar di dalamnya dan memuliakan penguasa yang adil. [2]
[2]. Diriwayatkan
oleh Abu Dawud (4843) dan dihasankan oleh Al-Albaani dalam Shahih At-Targhib
(I/44).
Ubadah
bin Shamit Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
“Bukan termasuk ummatku, siapa yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, menyayangi orang yang lebih muda dan mengetahui hak-hak orang alim”. [3]
“Bukan termasuk ummatku, siapa yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, menyayangi orang yang lebih muda dan mengetahui hak-hak orang alim”. [3]
[3]. Hadits riwayat
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/122) dan dihasankan oleh Al-Albaani dalam Shahih
Jami’ Shaghir (5319) dan Shahih
Thawus
rahimahullah mengatakan, "Termasuk
Sunnah, yaitu menghormati orang alim”. [4]
[4]. Silakan lihat
kitab Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi karangan Ibnu Abdil Barr (I/129).
Berdasarkan
nash-nash tersebut, jelaslah bahwa kewajiban setiap muslim terhadap para ulama
dan orang-orang shalih adalah mencintai dan menyukai mereka, menghormati dan
memuliakan mereka, tanpa berlebih-lebihan atau merendahkan sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas. Mengolok-olok ulama dan orang-orang shalih, mengejek
atau melecehkan mereka, tentu saja bertentangan dengan perintah untuk mencintai
dan memuliakan mereka. Melecehkan ulama dan orang shalih, sama artinya dengan
menghina dan merendahkan mereka. [5]
[5]. Silakan lihat Jami’
Ulum wal Hikam karangan Ibnu Rajab (II/334).
Al Alusi
mengatakan, "Istihza', artinya
merendahkan dan mengolok-olok. Al Ghazzali menyebutkan makna istihza', yaitu
merendahkan, menghinakan dan menyebutkan aib dan kekurangan, supaya orang lain
mentertawainya; bisa jadi dengan perkataan, dan bisa dengan perbuatan dan
isyarat”. [6]
[6]. Silakan lihat
Ruuhul Ma’aani (I/158).
Mengolok-olok dan memandang rendah Ahli Ilmu dan orang shalih, termasuk sifat orang kafir dan salah satu cabang kemunafikan. Sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat, diantaranya yaitu,
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Kehidupan dunia
dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina
orang-orang yang beriman. padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia
daripada mereka di hari kiamat. dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang
dikehendaki-Nya tanpa batas”. [Al Baqarah : 212]
Dalam
ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Dan barangsiapa yang
ringan timbangannya, Maka mereka Itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri,
mereka kekal di dalam neraka jahannam. Muka mereka dibakar api neraka, dan
mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat.
Bukankah ayat-ayat-Ku
Telah dibacakan kepadamu sekalian, tetapi kamu selalu mendustakannya?
Mereka berkata:
"Ya Tuhan kami, kami Telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami
orang-orang yang sesat.
Ya Tuhan kami,
keluarkanlah kami daripadanya (dan kembalikanlah kami ke dunia), Maka jika kami
kembali (juga kepada kekafiran), Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim."
Allah berfirman:
"Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan
Aku.
Sesungguhnya, ada
segolongan dari hamba-hamba-Ku berdoa (di dunia): "Ya Tuhan kami, kami
Telah beriman, Maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah
pemberi rahmat yang paling baik.
Lalu kamu menjadikan
mereka buah ejekan, sehingga (kesibukan) kamu mengejek mereka, menjadikan kamu
lupa mengingat aku, dan adalah kamu selalu mentertawakan mereka,
Sesungguhnya Aku
memberi balasan kepada mereka di hari ini, Karena kesabaran mereka;
Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang menang”. [Al
Mu’minun : 103-111]
Berkaitan
dengan tafsir ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan, “Kemudian Allah menyebutkan dosa mereka di
dunia, yaitu mereka dahulu mengolok-olok hamba-hamba Allah yang beriman dan
para waliNya. Allah mengatakan, "Sesungguhnya ada segolongan dari
hamba-hambaKu berdo'a (di dunia): Ya Rabb kami, kami telah beriman, maka
ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang
Paling Baik. Lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan”, yakni kalian malah mengolok-olok dan mengejek
do’a dan permohonan mereka kepadaKu. Sampai pada firman Allah, "sehingga
(kesibukan) kamu mengejek mereka, menjadikan kamu lupa mengingat Aku,"
yakni kebencian kalian kepada mereka membuat kalian lupa kepadaKu. Firman Allah;
"kamu selalu mentertawakan mereka”, yakni mentertawakan perbuatan dan amal
ibadah mereka”. [7]
[7]. Silakan lihat
Kitab Al-Mishbah Al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir tulisan Shafiyurrahman
Mubarakfuuri pada firman Allah surat Al-Mukminun ayat 110
Dalam
ayat lain, Allah menjelaskan tentang kebiasaan orang-orang munafik, yang
artinya,
“Dan bila mereka
berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami Telah
beriman". dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka
mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah
berolok-olok."
“Allah akan (membalas)
olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan
mereka”. [Al Baqaarah : 14-15]
Selanjutnya
pada ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan pula dalam firman-Nya,
yang artinya,
“(orang-orang munafik
itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah
dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk
disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu
menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka
azab yang pedih”. [At Taubah : 79]
Musuh-musuh
Islam, diantaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani serta orang-orang munafik
yang mengikuti mereka, senantiasa berusaha menjelek-jelekkan citra ulama Islam,
berusaha meruntuhkan kepercayaan umat kepada para ulama dengan
sindiran-sindiran dan komentar-komentar negatif tentang ulama. Hal ini perlu
diwaspadai oleh kaum muslimin. Mereka jangan sampai ikut-ikutan
menjelek-jelekkan alim ulama.
Dalam Protokalat Yahudi, pada protokolar nomor 27 disebutkan sebagai berikut; “Kami telah berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan martabat tokoh-tokoh agama dari kalangan orang-orang non Yahudi dalam pandangan manusia. Oleh karena itu, kami berhasil merusak agama mereka yang bisa menjadi ganjalan bagi perjalanan kami. Sesungguhnya pengaruh tokoh-tokoh agama terhadap manusia mulai melemah hari demi hari”. [8]
[8]. Protokolat
Hukama’ Zionis diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad bin Khalifah
At-Tunisi halaman 187.
Jadi
jelaslah, setiap tindakan yang bertujuan mendiskreditkan para ulama dan tokoh
agama termasuk tindakan makar terhadap agama ini. Pelakunya harus dihukum dan
ditindak tegas.
Pelecehan
terhadap para ulama dan orang shalih ada dua,
Pertama
Pertama
Pelecehan terhadap pribadi ulama.
Contohnya,
misalnya orang yang mengejek sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh ulama
tersebut. Demikian ini hukumnya haram, karena Allah telah
berfirman, yang artinya,
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain,
boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan
itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409]
dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung
ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[1410]
dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka
Itulah orang-orang yang zalim”.
[Al Hujuraat : 11]
[1409] Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah
mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
[1410] panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak
disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah
beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan sebagainya.
Berkenaan
dengan ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan, "Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang mengolok-olok
orang lain. Yaitu merendahkan dan menghinakan mereka. Sebagaimana disebutkan
sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Beliau
bersabda; “Sombong itu adalah menolak
kebenaran dan menghinakan orang lain”.
[9]
[9]. Hadits riwayat
Muslim (I/93).
Kedua
Mengolok-olok ulama karena kedudukan mereka sebagai ulama,
karena ilmu syar'i yang mereka miliki.
Demikian
ini termasuk perbuatan zindiq, karena termasuk melecehkan agama Allah. Demikian
pula mengolok-olok orang shalih, orang yang menjalankan Sunnah Nabi. Allah
telah menggolongkan pelecehan terhadap orang-orang yang beriman sebagai
pelecehan terhadap-Nya.
Dalam
surat At Taubah, Allah berfirman, yang artinya,
“Dan jika kamu
tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka
akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main
saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya
kamu selalu berolok-olok?" [At Taubah : 65]
Ayat ini
turun berkenaan dengan perkataan orang-orang munafik terhadap para qari' "Belum pernah kami melihat orang
seperti para qari' kita ini, mereka hanyalah orang-orang yang paling rakus
makannya, paling dusta perkataannya dan paling penakut di medan perang”, Maka Allah menurunkan ayat tersebut.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdil Wahhab mengatakan, "Ayat ini berisi penjelasan, bahwa seseorang bisa jatuh ke kufur karena perkataan yang diucapkannya, atau karena perbuatan yang dilakukannya”.
Kemudian beliau melanjutkan, "Termasuk dalam bab ini, yaitu mengolok-olok ilmu syar'i dan Ahli Ilmu, dan tidak menghormati mereka karena ilmu yang mereka miliki”. [10]
Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdil Wahhab mengatakan, "Ayat ini berisi penjelasan, bahwa seseorang bisa jatuh ke kufur karena perkataan yang diucapkannya, atau karena perbuatan yang dilakukannya”.
Kemudian beliau melanjutkan, "Termasuk dalam bab ini, yaitu mengolok-olok ilmu syar'i dan Ahli Ilmu, dan tidak menghormati mereka karena ilmu yang mereka miliki”. [10]
[10]. Qurratul
Uyuunil Muwahhidin (halaman 217).
Dalam
Fatwa Lajnah Daimah disebutkan: "Mencela Islam, mengolok-olok Al Qur'an
dan As Sunnah, serta mengolok-olok orang-orang yang berpegang teguh dengannya
karena ajaran agama yang mereka amalkan, seperti memelihara jenggot dan
berhijab bagi wanita muslimah, maka perbuatan seperti itu termasuk kufur, bila
dilakukan oleh seorang mukallaf ((orang baligh yang berakal sehat) dan harus
dijelaskan kepadanya, bahwa perbuatan itu kufur. Jika ia tetap melakukannya
setelah mengetahuinya, maka ia bisa jatuh kafir, karena Allah mengatakan,
“Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. [At Taubah:65].
Ibnu Nujaim menyatakan,"Mengolok-olok ilmu dan ulama adalah kufur”. [11]
“Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. [At Taubah:65].
Ibnu Nujaim menyatakan,"Mengolok-olok ilmu dan ulama adalah kufur”. [11]
[11]. Fatwa Lajnah
Daaimah (I/256 dan 257).
Mala Ali
Al Qari, ketika menjelaskan tentang orang yang melecehkan ulama dengan sindiran
"Betapa
buruk penampilannya, memotong kumis dan melipat sorban di bawah dagu", (maka)
beliau mengatakan,”Perkataan
itu termasuk kufur, karena isinya melecehkan ulama. Yang sama artinya
melecehkan para nabi. Karena para ulama adalah pewaris para Nabi. Memotong
kumis adalah salah satu Sunnah para nabi. Menganggapnya buruk adalah kufur,
tanpa ada perselisihan pendapat diantara ulama”. [12]
[12]. Al-Asybaah
wan Nazhaair (191).
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya tentang perbuatan sebagian orang yang
mengolok-olok orang-orang yang melaksanakan ajaran agama dan mengejek mereka,
apakah hukumnya? Beliau menjawab, "Orang-orang yang mengolok-olok para
multazimin (orang yang melaksanakan ajaran agama) yang melaksanakan perintah
Allah pada mereka terdapat benih kemunafikan. Karena Allah telah menyebutkan
sifat orang-orang munafik,
“(orang-orang munafik
itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah
dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk
disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu
menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka
azab yang pedih”. [At Taubah : 79]
Kemudian, apabila
mereka mengolok-olok karena ajaran syari’at yang mereka amalkan, yang demikian
itu termasuk juga mengolok-olok syari’at. Dan mengolok-olok syari’at termasuk
kufur. Adapun bila olok-olokan itu tertuju kepada pribadi orang itu atau
penampilannya, bukan tertuju kepada Sunnah yang diamalkannya, maka tidaklah
kafir karenanya. Karena adakalanya ejekan tersebut tertuju kepada pribadi
seseorang, bukan kepada amal atau perbuatan yang dilakukannya. Perbuatan
semacam itu sangatlah berbahaya”. [13]
[13]. Majmu’
Ats-Tsamin I/65.
Demikian
pula ulama Salaf terdahulu, bersikap keras terhadap orang-orang yang melecehkan
ulama dan Ahli Hadits.
Abu Utsman Ash Shabuni dalam I'tiqad Ashabul Hadits, nomor 164, Al Khathib Al Baghdaadi dalam Syaraf Ashabul Hadits (halaman 74) menyebutkan, bahwa Ahmad bin Al Hasan berkata kepada Imam Ahmad, "Wahai, Abu Abdillah. Orang-orang menceritakan tentang Ibnu Abi Qutailah di Makkah yang mengejek Ashabul Hadits. Ia mengatakan bahwa Ashabul Hadits itu adalah orang-orang yang buruk”. Maka Imam Ahmad bangkit seraya menepis bajunya dan berkata, "Dia itu zindiq, dia itu zindiq!" hingga beliau masuk ke dalam rumah.
Dalam kitab Al Kifayah, halaman 48, Al Khathib Al Baghdadi menyebutkan, bahwa Abu Zur'ah Ar Razi mengatakan, "Jika engkau melihat seseorang melecehkan salah seorang dari sahabat Nabi, maka ketahuilah bahwa dia itu zindiq. Karena kita tahu, bahwa Rasul itu haq, Al Qur'an itu haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur'an dan As Sunnah kepada kita adalah para sahabat Rasulullah, sesungguhnya mereka ingin memburuk-burukkan para saksi kita untuk menolak Al Qur'an dan As Sunnah, padahal merekalah yang pantas untuk diburukkan, karena mereka adalah zindiq”.
Abu Utsman Ash Shabuni dalam I'tiqad Ashabul Hadits, nomor 164, Al Khathib Al Baghdaadi dalam Syaraf Ashabul Hadits (halaman 74) menyebutkan, bahwa Ahmad bin Al Hasan berkata kepada Imam Ahmad, "Wahai, Abu Abdillah. Orang-orang menceritakan tentang Ibnu Abi Qutailah di Makkah yang mengejek Ashabul Hadits. Ia mengatakan bahwa Ashabul Hadits itu adalah orang-orang yang buruk”. Maka Imam Ahmad bangkit seraya menepis bajunya dan berkata, "Dia itu zindiq, dia itu zindiq!" hingga beliau masuk ke dalam rumah.
Dalam kitab Al Kifayah, halaman 48, Al Khathib Al Baghdadi menyebutkan, bahwa Abu Zur'ah Ar Razi mengatakan, "Jika engkau melihat seseorang melecehkan salah seorang dari sahabat Nabi, maka ketahuilah bahwa dia itu zindiq. Karena kita tahu, bahwa Rasul itu haq, Al Qur'an itu haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur'an dan As Sunnah kepada kita adalah para sahabat Rasulullah, sesungguhnya mereka ingin memburuk-burukkan para saksi kita untuk menolak Al Qur'an dan As Sunnah, padahal merekalah yang pantas untuk diburukkan, karena mereka adalah zindiq”.
Demikian
pula Adz Dzahabi menyebutkan dalam Siyar A'lamun Nubala', bahwa Imam Ahmad
berkata, "Jika engkau melihat seseorang
memburuk-burukkan Hammad bin Salamah, maka curigailah dia mempunyai maksud
buruk terhadap Islam, karena Hammad sangat tegas terhadap Ahli Bid'ah”.
Memang ahli bid'ah terkenal suka mengejek dan melecehkan Ahlu Sunnah, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang tokoh Mu'tazilah. Yaitu Amru bin Ubaid, yang memuji perkataan Washil bin Atha'.
Pada suatu ketika Washil bin Atha' berbicara lalu berkatalah Amru bin Ubeid, "Tidakkah kalian dengar perkataannya? Sungguh ucapan Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin tidak lebih seperti sehelai kapas pembersih haidh yang dilemparkan”.
Demikian pula seorang pembesar ahli bid'ah mengatakan, "Sesungguhnya ilmu Asy Syafi'i dan Abu Hanifah, keseluruhannya tidaklah keluar dari celana dalam wanita”. [14]
Memang ahli bid'ah terkenal suka mengejek dan melecehkan Ahlu Sunnah, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang tokoh Mu'tazilah. Yaitu Amru bin Ubaid, yang memuji perkataan Washil bin Atha'.
Pada suatu ketika Washil bin Atha' berbicara lalu berkatalah Amru bin Ubeid, "Tidakkah kalian dengar perkataannya? Sungguh ucapan Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin tidak lebih seperti sehelai kapas pembersih haidh yang dilemparkan”.
Demikian pula seorang pembesar ahli bid'ah mengatakan, "Sesungguhnya ilmu Asy Syafi'i dan Abu Hanifah, keseluruhannya tidaklah keluar dari celana dalam wanita”. [14]
[14]. Lihat kitab
Al-I’tisham karangan Asy-Syaathibi II/433.
Perbuatan
semacam itu termasuk perbuatan zindiq dan nifaq wal iyadzu billah. Dari
keterangan tersebut, kita dapat menyimpulkan, bahwa melecehkan ulama termasuk
dosa besar. Para ulama menggolongkannya sebagai perbuatan kufur dan nifak.
Semoga Allah menjauhkan kita darinya.
--------------------------------------------------------------------
dari majalah
As-Sunnah Edisi 05/Tahun VIII/1425H/2004M
Oleh, Ustadz
Abu Ihsan Al Atsary
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta
--------------------------------------------------------------------
Keterangan,
Pemberian foto bukan dengan niat yang buruk, hanya sebagai
ilustrasi untuk menambah daya pikat bagi kaum muslimin dan muslimat dalam
membaca dan mempelajari tulisan ini