TATA
CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Islam
telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan
Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush
Shalih, di antaranya adalah :
I. Khitbah (Peminangan)
I. Khitbah (Peminangan)
Seorang
laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang
terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam
hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang
dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya”. [1]
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya”. [1]
[1]. Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat
Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
Disunnahkan
melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat
mendorongnya untuk menikahi wanita itu.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” . [2]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” . [2]
[2]. Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim
(II/165), dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
Al-Mughirah
bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu pernah meminang seorang wanita, maka Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua”. [3]
[3]. Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70), ad-Darimi
(II/134) dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam
Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).
Imam
at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini bahwa
menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat
apa yang diharamkan darinya”.
Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “... Melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya...”, Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya. Wallaahu a’lam. [4]
Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “... Melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya...”, Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya. Wallaahu a’lam. [4]
[4]. Lihat pembahasan
masalah ini dalam Syarhus Sunnah (IX/17) oleh Imam al-Baghawi, Syarh Muslim
(IX/210) oleh Imam an-Nawawi, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/97-208,
no. 95-98) oleh Syaikh al-Albani, al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah
(V/34-36) oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah dan Fiqhun Nazhar (hal.
82-89)
Ketika
Laki-Laki Shalih Datang Untuk Meminang
Apabila
seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal
-sebagaimana yang telah kami sebutkan- maka demikian pula dengan wali kaum
wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki shalih yang akan dinikahkan
dengan anaknya. Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”. [5]
“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”. [5]
[5]. Hadits hasan
lighairihi: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1085). Lihat Silsilah
al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1022).
Boleh
juga seorang wali menawarkan puteri atau saudara perempuannya kepada
orang-orang yang shalih.
Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman.
Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar men-jawab, ‘Ya’. Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan menerima tawaranmu”. [6]
Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman.
Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar men-jawab, ‘Ya’. Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan menerima tawaranmu”. [6]
[6]. Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5122) dan an-Nasa-i (VI/77-78). Lihat Shahiih
Sunan an-Nasa-i (no. 3047).
Shalat
Istikharah
Apabila
seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun
sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah,
maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah
dan berdo’a seusai shalat, yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan
kecocokan, serta memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya. [7]
[7]. Al-Insyiraah fii
Aadabin Nikaah (hal. 22-23) oleh Syaikh Abu Ishaq al-Khuwaini, Jaami’ Ahkaamin
Nisaa'(III/216) oleh Musthafa al-‘Adawi dan Adabul Khithbah waz Zifaaf fis
Sunnah al-Muthahharah (hal. 21-22) oleh ‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim.
Hal ini
berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat Istikharah untuk
memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur'an”.
Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana
untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua
raka’at, kemudian membaca do’a,
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ (وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ) خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ (أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ) فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ (أَوْ قَالَ: فِيْ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ) فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘...di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku”. [8]
[8]. Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1162), Abu Dawud (no. 1538), at-Tirmidzi (no.
480), an-Nasa-i (VI/80), Ibnu Majah (no. 1383), Ahmad (III/334), al-Baihaqi
(III/52) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
Dari
Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Tatkala masa ‘iddah Zainab binti
Jahsy sudah selesai, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada
Zaid, ‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya.’ Zaid berkata, ‘Lalu
aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata, ‘Wahai Zainab, bergembiralah
karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan meminangmu.’’ Zainab berkata,
‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku meminta pilihan yang baik kepada
Allah.’ Lalu Zainab pergi ke masjidnya. [9]
Lalu
turunlah ayat Al-Qur'an [10] dan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan langsung masuk menemuinya”. [11]
[9]. Yaitu mushalla
tempat shalat di rumahnya.
[10]. Yaitu surat
al-Ahzaab ayat 37. Allah telah menikahkan Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam
dengan Zainab binti Jahsyi melalui ayat ini.
[11]. Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1428 (89)), an-Nasa-i (VI/79), dari Shahabat Anas
radhiyallaahu ‘anhu.
Imam
an-Nasa’i rahimahullaah memberikan bab terhadap hadits ini dengan judul “Shalaatul
Marhidza Khuthibat wastikhaaratuha Rabbaha (Seorang Wanita Shalat Istikharah
ketika Dipinang)”.
Fawaaid
(Faedah-Faedah) Yang Berkaitan Dengan Istikharah :
1. Shalat Istikharah hukumnya sunnah.
2. Do’a Istikharah dapat dilakukan
setelah shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, atau
shalat malam.
3. Shalat Istikharah dilakukan untuk
meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang baik, bukan untuk memutuskan
jadi atau tidaknya menikah. Karena, asal dari pernikahan adalah dianjurkan.
4. Hendaknya ikhlas dan ittiba’ dalam
berdo’a Istikharah.
5. Tidak ada hadits yang shahih, jika sudah shalat Istikharah akan ada mimpi,
dan lainnya. [12]
[12]. Jaami’ Ahkaamin
Nisaa' (III/218-222).
------------------------------------------------------------------
dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah
Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa Barat,
Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006
------------------------------------------------------------------
Keterangan,
Pemberian foto bukan dengan niat yang
buruk, hanya sebagai ilustrasi untuk menambah daya pikat bagi kaum muslimin dan
muslimat dalam membaca dan mempelajari tulisan ini