web widgets

Rabu, 18 April 2012

KAFIRKAH ORANG YANG TIDAK MENGKAFIRKAN ORANG KAFIR.?!


Dalam masalah vonis kafir, pertama kita harus mengetahui, takfir (memvonis kafir) merupakan hukum syar’i. Artinya, harus merujuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana halnya hukum-hukum syar’i yang lain. Takfir merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Penerapan hukum wajib dan hukum haram, penetapan pahala dan siksa, penetapan hukum kafir atau fasiq, rujukannya ialah Allah dan Rasul-Nya. Siapapun tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah ini. Sesungguhnya wajib bagi siapa saja mewajibkan yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya”  [1]

[1]. Majmu Fatawa (V/545)

Beliau rahimahullah juga menegaskan, hukum kafir dan fasiq termasuk hukum syar’i, bukan termasuk hukum yang dapat ditetapkan oleh akal secara bebas. Orang kafir ialah orang yang telah ditetapkan kafir oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan orang fasiq ialah orang yang telah ditetapkan fasiq oleh Allah dan Rasul-Nya. [2]

[2]. Minhajus Sunnah An-Nabawiyah (V/95)

Bagitu pula Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, takfir merupakan hukum syar’i. Orang kafir ialah orang yng telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. [3]

[3]. Mukhtashar As-Shawaiqul Mursalah, hal. 421

Lebih lanjut Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, takfir (vonis kafir) terhadap orang-orang murtad, bukanlah syari’at yang dibuat kaum Khawarij, juga tidak oleh golongan lainnya. Juga bukan dari hasil pemikiran. Namun takfir merupakan hukum syar’i yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas orang-orang yang berhak mendapatkannya, karena melakukan salah satu dari pembatal-pembatal ke-islaman, baik pembatal qauliyah, I’tiqadiyah maupun fi’liyah, sebagaimana telah dijelaskan para ulama dalam masalah hukum-hukum bagi orang murtad. Hukum-hukum tersebut diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [4]

[4]. An-Nubuwwah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Demikian pula telah disebutkan dalam Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah fi Ushulil Aqidah As-Salafiyah, takfir merupakan hukum syar’i, tempat kembalinmya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]

[5]. Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah di Ushulil Aqidah As-Salafiyah, yang ditulis secara bersama oleh lima orang ulama, yaitu : Husain bin Audah Al-Awaisyah, Muhammad Musa Ali Nashr, Salim bin Id Al-Hilali, Ali bin Hasan Al-Halabi dan Msyhur Hasan Salman, hal. 17

Oleh karena itu, siapapun tidak boleh menjatuhkan vonis kafir dengan dasar hawa nafsu atau akal pemikirannya. Jika ia melakukannya, berarti ia telah berhukum dengan selain hukum Allah dalam masalah ini. Oleh sebab itu, ulama Ahlus Sunnah wal tidak sembarangan dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap orang tertentu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Oleh karena itu ahli ilmu dan Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka –walaupun orang-orang yang menyelisihinya tersebut mengkafirkan mereka- karenaa takfir merupakan hukum syar’Ii, dan seseorang tidak boleh membalas dengan semisalnya. Sebagaimana orang yang berdusta terhadapmu, orang yang berzina dengan keluargamu, tentu kamu tidak boleh berdusta terhadapnya atau berzina dengan keluarganya. Karena dusta dan zina hukumnya haram –berdasarkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala- demikian pula dengan takfir, ia merupakan hak Allah. Sehingga, tidak boleh menjatuhkan vonis kafir,kecuali terhadap orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya”  [6]

[6]. Ar-Radd Alal Bakri (II/493)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, ungkapan tentang hakikat-hakikat iman dengan menggunakan Al-Qur’an lebih Iebih utama daripada menggunakan ungkapan selainnya. Ungkapan Al-Qur’an wajib diimani, karen ia merupakan wahyu yang diturunkan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. [8]

[8]. An-Nubuwwat, (II/876)

Demikian juga ungkapan, “Barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir”, maka kaidah ini harus diperjelas maksudnya.
Jika maksudnya tidak meyakini kekafiran orang-orang yang telah dinyatakan kafir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Fir’aun, Abu Lahab dan sejenisnya, maka ia kafir.
Atau juga mengatakan Yahudi, Nasrani, Majusi atau sejenisnya bukan kafir, bahkan meyakini mereka termasuk sebagai kaum muslimin, dan kaidah tersebut dianggap benar, konsekwensinya orang itu tidak berlepas diri dari orang-orang kafir tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,  

Yang artinya, “..... Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka...”. [Al-Maidah : 51]

Dengan demikian ia telah menentang hukum Allah yang telah menjatuhkan vonis kafir terhadap orang-orang tersebut. Seperti halnya orang-orang yang meyakini kesatuan agama. Yaitu mereka bekeyakinan semua agama adalah sama. Beranggapan bahwa orang Nasrani dan Yahudi juga merupakan orang-orang muslim mukmin, ; maka orang yang berkeyakinan seperti itu bisa jatus vonis kafir,apabila telah terpenuhi syarat-syarat takfir dan tida ada lagi penghalangnya.

Syaikh Bakar Abu Zaid menjelaskan masalah ini sebagai berikut;
“Setiap muslim yang mengimani Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul-Nya, (ia) wajib mentaati Allah dengan membenci orang-orang kafir, Yahudi, Nasrani dan kaum kafir lainnya. Wajib memusuhi mereka karena Allah, tidak mencintai dan mengasihi mereka, tidak loyal dan tidak menyerahkan urusan kepada mereka, sehingga mereka beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, memeluk Islam sebagai agama mereka, dan beriman kepada Muhammad sebagai nabi dan rasul mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,  

Yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. [Al-Maidah : 51]

Di antara bukti terputusnya wala (loyalitas) antara kita dengan mereka, ialah tidak adanya waris-mewarisi antara muslim dan kafir selama-lamanya. Setiap muslim wajib meyakini kekufuran setiap orang yang menolak memeluk Dienul Islam dari kalangan Yahudi, Nasrani maupun selainnya. Wajib menamainya kafir. Wajib meyakini mereka sebagai musuh, dan meyakini mereka sebagai penduduk neraka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,  

Yang artinya, “Katakanlah : "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. [Al-A’raaf  : 158]

Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

Artinya, “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa, melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka”.

Oleh karena itu pula, barangsiapa tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani, maka dia kafir. Ini sebagai konsekuensi dari kaidah syari’at, “barangsiapa tidak megkafirkan orang kafir, maka ia kafir”.
Kita mengatakan kepada ahli Kitab, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengatakan di dalam Kitab-Nya.

Yang artinya, ... berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu....”.  [An-Nisa : 171]

Sehingga, siapapun pada hari ini, tidak dibenarkan tetap bertahan memegang dua syariat tersebut, yaitu agama Yahudi dan Nasrani. Apalagi memeluk salah satu dari keduanya. Tidak dibenarkan memeluk agama, selain agama Islam. Dan tidak dibenarkan berpredikat selain sebagai muslim, atau sebagai pengikut millah iberahim. [9]

[9]. Lihat buku Al-Ibhtal, Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid

Adapun orang-orang yang masih diperselisihkan status kekafirannya oleh para ulama, misalnya orang yang meninggalkan shalat, atau orang yang jelas melakukan amalan kekufuran namun syarat jatuhnya vonis kafir terhadap mereka belum terpenuhi, dan belum hilang penghalang-penghalang jatuhnya vonis kafir; maka penerapan kaidah tersebut terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dalam menjatuhkan vonis kafir merupakan perkara besar yang akan membuka pintu-pintu kejelekan, pertumpahan darah dan fitnah.

Di antara ushul Islam, yaitu wajib meyakini kekafiran orang yang tidak masuk ke dalam agama Islam dari kalangan Yahudi dan Nasrani dan selain mereka, menyebutnya kafir, bagi yang telah tegak atasnya hujjah, meyakini bahwa ia musuh Allah, musuh Rasul-Nya dan musuh orang-orang beriman, dan meyakini bahwa ia ahli neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Yang artinya, “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. [Al-Bayyinah : 1]

Yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”. [Al-Bayyinah : 6]

Yang artinya,  Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)”. [Al-An’am : 19]

yang artinya, “(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui ...”. [Ibrahim : 52]

Demikian ayat-ayat yang menyebutkan tentang kekafiran ahli kitab, dan masih banyak ayat-ayat lain yang semakna dengan itu.

Telah pula diriwayatkan dalam shahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Artinya, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani, lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa, melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka”.

Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani, maka ia kafir. Yakni mengikuti kaidah sayari’at, “barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir sesudah hujjah tegak atas diri orang kafir tersebut, maka ia kafir”.  [10]

[10]. Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy

Dalam fatwa yang ditanda tangani oleh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Abdur-Razzaq Afifi, Abdullah bin Ghudayyan dan Abdullah bin Qu’ud, diajukan sebuah pertanyaan sebagai berikut.

Pertanyaan,  “Kami ingin mengetahui hukum orang yang tidak mengakfirkan orang kafir”.

Jawab,  “Barangsiapa yang telah ditetapkan kekafirannya, maka wajib diyakini kekafirannya, menghukuminya dengan hukum kafir. Dan waliyul amri (pemerintah) berhak menjalankan hukuman riddah (murtad) atasnya, jika ia tidak bertaubat. Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah ditetapkan kekafirannya, maka ia kafir; kecuali jika ia masih memiliki syubhat (keragu-raguan) dalam masalah tersebut. Maka ia harus menghilangkan syubhat itu darinya”.

Wabillahit-taufiq, shalawat dan salam semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas keluarga dan para sahabat beliau.  [11]

[11]. Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy, pertanyaan kedua dari fatwa no. 6201

Demikianlah perincian yang dijelaskan oleh para ulama berkenan dengan kaidah tersebut.



SIAPAKAH JAMA’AH TAKFIR WAL HIJRAH

Syaikh Nashir bin Abdul Karim Al-Aql menjelaskan secara sekilas tentang jama’ah ini sebagai berikut.

Jama’ah takfir wal hjrah merupakan bukti keberadaan Khawarij pada abad ini. Mereka menamakan diri Jama’atul Muslimin. Muncul di Mesir dan diprakarsai Syukri Musthafa, seroang mahasiswa fakultas pertanian di Asyuth (Universitas Asyuth).

Pemikiran-pemikiran Khawarij menghinggapi pikirannya setelah ia dihukum sekitar tahun 1385H. Dia banyak mendapatkan paham ini ketika berada di dalam penjara, hingga sekitar tahun 1391H. Akhirnya jama’ahnya bertambah besar dan pemikirannya kian berkembang. Sikap mereka sangat berlebih-lebihan, hingga tokoh-tokoh mereke terbunuh setelah mereka menculik Dr Muhamamd Hussain Adz-Dzahabi.

Saya tidak bermaksud menceritakan sejarah dan kejadiannya di sini. Hanya saja yang terpenting bagi kita perlu mengetahui dasar, ciri-ciri dan sikap mereka, serta sebab-sebab yang membuat mereka sebagai pengikut hawa nafsu (Khawarij). Kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dasar pemikiran dan cirri-ciri Khawarij pada abad ini (jama’ah takfir wal hijrah) sebagai berikut,

Ke-satu   :
Mengkafirkan,  Hal ini mencakup,

1. Mengkafirkan para pelaku dosa besar dan menganggap mereka keluar dari agama dan kekal selamanya di dalam neraka, sebagaimana pendapat Khawarij terdahulu.

2. Menganggap kafir siapa saja yang berbeda dengan mereka dari kalangan kaum muslimin (ulama atau lainnya), dan menjatuhkan vonis kafir ini secara mu’ayyan (terarah kepada person tertentu)

3. Mengkafirkan siapa saja yang keluar dari jama’ah mereka yang dahulu pernah bersama mereka, atau orang yang berbeda dengan dasar mereka.

4. Mengkafirkan masyarakat muslim (yang bukan dari mereka), dan menghukuminya sebagai masyarakat jahiliyah.

5. Menganggap kafir siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak dan tanpa perincian.

6. Mengkafirkan siapa saja yang tidak mau hijrah kepada mereka dan orang yang tidak mau memboikot masyarakat dan yayasan-yayasan (organisasi-organisasi).

7. Mengangap kafir secara mutlak orang yang tidak mengkafirkan orang kafir menurut mereka.

Ke-dua  :
Kewajiban HIjrah dan Uzlah (menyendiri),  Hal ini mencakup,

1. Meninggalkan masjid kaum muslimin dan tidak boleh shalat di dalamnya, walaupun harus meninggalkan shalat jum’at.

2. Tidak bergaul dengan masyarakat muslim yang ada di sekitarnya secara mutlak.

3. Tidak ikut belajar dan mengajar, serta mengharamkan masuk ke universitas-universitas dan sekolah-sekolah.

4. Tidak membolehkan menjadi pegawai negeri dan tidak boleh bekerja pada yayasan-yayasan umum, serta mengharamkan bekerja di lingkungan yang mereka sebut sebagai masyarakat jahiliyah, yaitu siapa saja yang bukan dari golongan mereka.

Ke-tiga  :
Mengajak umat agar buta huruf dan memerangi pendidikan.

Hal ini mereka serukan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau merupakan orang-orang yang buta huruf, kecuali sebagian kecil saja.
Mereka beranggapan, tidak mungkin seseorang menggabungkan antara mencari ilmu dunia dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti; shalat, puasa, haji, do’a, dzikir, membaca Al-Qur’an, berjihad dan berdakwah. Menurut mereka, seorang muslim bisa mengetahui ilmu agama sekedar apa yang ia butuhkan, dengan hanya mendengarkan langsung tanpa harus belajar tulis baca terlebih dahulu, dan berbagai bentuk syubhat lainnya.

Ke-empat   :
Sikap diam dan klarifikasi (Kaidah Tabayyun)

Yang mereka maksudkan dalam hal ini, yakni sama dengan maskud pendahulu mereka, yaitu Khawarij terdahulu.
Yakni tawaqquf (tidak menilai) terhadap seseorang yang masih belum jelas statusnya, apakah dari kelompok mereka atau bukan. Mereka tidak menghukuminya kafir dan tidak mengatakan ia muslim, kecuali setelah jelas jika ia dari kelompok mereka dan telah memba’iat imam mereka. Setelah itu, barulah seseorang tesebut menjadi seorang muslim. Bila tidak, maka ia kafir.

Ke-lima   :

Mereka mengatakan, tokoh mereka (yaitu, Syukri Musthafa) sebagai imam mahdi yang muncul pada akhir zaman, dan Allah akan memenangkan agama ini dengannya, dari agama lain di muka bumi.

Ke-enam   :

Mereka memiliki anggapan, jama’ah mereka merupakan jama’ah kaum muslimin, jama’ah akhir zaman yang akan membunuh Dajjal. Dan menurut mereka, waktu munculnya Dajjal serta turunnya Isa Alaihis Sallam sudah dekat.

Ke-tujuh   :
Mereka mengatakan, bahwa kewajiban syariat bisa saling berbenturan.

Maksud mereka dari anggapan ini, yaitu dibolehkan meninggalkan sebagian kewajiban-kewajban ketika ada hal yang lebih besar yang tidak bisa kita lakukan, kecuali dengan meninggalkan syari’at tersebut.
Mereka meninggalkan shalat Jum’at, karena menganggap mereka dalam masa lemah, padahal syarat Jum’at ialah bila telah adanya kekuasaan. Sebagian kalangan mereka membolehkan mencukur jenggot, dengan dalih jenggot akan mempersempit ruang gerak dan bahaya bagi mereka.

Ke-delapan   :
Dasar-dasar dan cirri-ciri bid’ah lainnya,  seperti,

1. Pendapat tentang adanya fase hukum. Yaitu ; mereka dibolehkan meninggalkan sebahagian syari’at (shalat Jum’at dan shalat Id), serta boleh melakukan sebahagian yang diharamkan, seperti ; menikah dengan wanita kafir, mencukur jenggot dan memakan sembelihan orang kafir, karena mereka berada dalam fase lemah, sebagaimana pada masa dakwah Nabi di Mekkah

2. membuat dasar syari’at baru yang berbeda dengan manhaj Salaf. Mereka menolak ijma, melarang taklid dan ittiba (mencontoh) secara mutlak, sehingga mereka mewajibkan semua manusia untuk berijtihad.

3. Mereka tidak berpedoman kepada pemahaman para sahabat, ulama dan para imam dalam memahami Al-Qur’an dan hadits.

4. Mereka tidak mengakui khilafah Islamiyah setelah abad keempat, dan menganggap kafir abad-abad sesudah itu.

5. Mereka bersikap keras dan kasar dalam bergaul

6. Mereka merasa berilmu, sombong dan merasa lebih istimewa dari kaum muslimin yang lain.

7. Mereka menghalalkan darah dan menculik orang yang berbeda dengan mereka, bagi yang pernah bersama dengan mereka, dan menyebutnya sebagai orang murtad atau sebutan lainnya dari kalangan kaum muslimin. Aksi yang pernah mereka lakukan, yaitu menculik dan membunuh Syaikh Dr. Muhammad Hussain Adz-Dzahabi, menculik sebagian orang yang telah keluar dari jama’ah mereka dan menghabisinya, persis seperti perbuatan kaum Khawarij. Kita memohon keafi’atan dan keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

8. Di kalangan mereka cepat terjadi perpecahan, permusuhan dan saling memakan di antara mereka sendiri. [12]

[12]. Al-Khawawij, Syaikh Dr Nashir Al-Aql, hal. 132


PENETAPAN HUKUM KAFIR DISERAHKAN KEPADA KALANGAN KHUSUS ULAMA

Dalam masalah menjatuhkan hukum kafir, Syaikh Shalih Al-Fauzan megatakan : “Tidak semua orang berhak menjatuhkan vonis kafir, atau berbicara tentang vonis kafir terhadap jama’ah tertentu, atau orang tertentu. Takfir memiliki batasan-batasan dan kaidah. Barangsiapa melakukan salah satu dari pembatal-pembatal Islam, makaia dihukumi kafir”.

Kemudian beliau melanjutkan :
Takfir merupakan masalah yang sangat berbahaya. Tidak sembarang orang bodoh berbicara tentang masalah ini terhadap orang lain. Kewenangan ini merupakan milik mahkamah syar’i, merupakan kewenangan ahli ilmu yang luas ilmunya, yang mengetahui Islam dan mengetahui pembatal-pembatalnya, mengetahui kondisi serta keadaan manusia dan masyarakat. Mereka inilah yang berhak menjatuhkan vonis kafir.

Adapun orang-orang jahil dan anggota masyarakat serta para pelajar, mereka tidak berhak menjatuhkan hukum kafir terhadap diri orang tertentu, atau jama’ah tertentu, atau negara tertentu. Karena mereka bukan orang yang ahli dalam bidang tersebut. [13]

[13] Al-muntaqa min Fatawihi (I/12)


Maraji’,
[1]. Al-Ajwaibah Al-Mutalaimah, Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid
[2]. Al-Ibthal, Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid
[3]. Al-Khawarij, Abdul Karim Al-Aql
[4]. An-Nubuwwah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[5]. Ar-Radd Alal Bakri, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[6]. Ar-Risalah Ad-Tadmurriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[7]. At-Tabsir bi Qawaidut-Takfir, Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid
[8]. At-Ta’rif wat Tanbi’ah, Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid
[9]. Fatawa Lajnah Da’imah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy
[10]. Majmu Fatawa Syaihul Islam Ibnu Taimiyyah
[11]. Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[12]. Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah Fi Ushulil Aqidah As-Salafiyah
[13]. Mukhtashar Ash-Shawaiqul Mursalah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[14]. Nawaqidhul Iman Al-Qauliyah wal Amaliyah, Dr Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Al-Abdul Al-Lathif


----------------------------------------------------------------------------------
dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
----------------------------------------------------------------------------------

Keterangan,
Pemberian foto bukan dengan niat yang buruk, hanya sebagai ilustrasi untuk menambah daya pikat bagi kaum muslimin dan muslimat dalam membaca dan mempelajari tulisan ini