Dalam
masalah vonis kafir, pertama kita harus mengetahui, takfir (memvonis kafir)
merupakan hukum syar’i. Artinya, harus merujuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana halnya hukum-hukum
syar’i yang lain. Takfir merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Penerapan hukum wajib dan hukum haram, penetapan pahala dan siksa, penetapan hukum kafir atau fasiq, rujukannya ialah Allah dan Rasul-Nya. Siapapun tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah ini. Sesungguhnya wajib bagi siapa saja mewajibkan yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya” [1]
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Penerapan hukum wajib dan hukum haram, penetapan pahala dan siksa, penetapan hukum kafir atau fasiq, rujukannya ialah Allah dan Rasul-Nya. Siapapun tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah ini. Sesungguhnya wajib bagi siapa saja mewajibkan yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya” [1]
[1]. Majmu Fatawa
(V/545)
Beliau
rahimahullah juga menegaskan, hukum kafir dan fasiq termasuk hukum syar’i, bukan
termasuk hukum yang dapat ditetapkan oleh akal secara bebas. Orang kafir ialah
orang yang telah ditetapkan kafir oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan orang fasiq
ialah orang yang telah ditetapkan fasiq oleh Allah dan Rasul-Nya. [2]
[2]. Minhajus Sunnah An-Nabawiyah (V/95)
[2]. Minhajus Sunnah An-Nabawiyah (V/95)
Bagitu
pula Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, takfir merupakan hukum
syar’i. Orang kafir ialah orang yng telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. [3]
[3]. Mukhtashar
As-Shawaiqul Mursalah, hal. 421
[4]. An-Nubuwwah,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Demikian
pula telah disebutkan dalam Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah fi Ushulil Aqidah
As-Salafiyah, takfir merupakan hukum syar’i, tempat kembalinmya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]
[5]. Mujmal
Masailul Iman Al-Ilmiyah di Ushulil Aqidah As-Salafiyah, yang ditulis secara
bersama oleh lima orang ulama, yaitu : Husain bin Audah Al-Awaisyah, Muhammad
Musa Ali Nashr, Salim bin Id Al-Hilali, Ali bin Hasan Al-Halabi dan Msyhur
Hasan Salman, hal. 17
Oleh
karena itu, siapapun tidak boleh menjatuhkan vonis kafir dengan dasar hawa
nafsu atau akal pemikirannya. Jika ia melakukannya, berarti ia telah berhukum
dengan selain hukum Allah dalam masalah ini. Oleh sebab itu, ulama Ahlus Sunnah
wal tidak sembarangan dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap orang tertentu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Oleh karena itu ahli ilmu dan Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka –walaupun orang-orang yang menyelisihinya tersebut mengkafirkan mereka- karenaa takfir merupakan hukum syar’Ii, dan seseorang tidak boleh membalas dengan semisalnya. Sebagaimana orang yang berdusta terhadapmu, orang yang berzina dengan keluargamu, tentu kamu tidak boleh berdusta terhadapnya atau berzina dengan keluarganya. Karena dusta dan zina hukumnya haram –berdasarkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala- demikian pula dengan takfir, ia merupakan hak Allah. Sehingga, tidak boleh menjatuhkan vonis kafir,kecuali terhadap orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya” [6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Oleh karena itu ahli ilmu dan Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka –walaupun orang-orang yang menyelisihinya tersebut mengkafirkan mereka- karenaa takfir merupakan hukum syar’Ii, dan seseorang tidak boleh membalas dengan semisalnya. Sebagaimana orang yang berdusta terhadapmu, orang yang berzina dengan keluargamu, tentu kamu tidak boleh berdusta terhadapnya atau berzina dengan keluarganya. Karena dusta dan zina hukumnya haram –berdasarkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala- demikian pula dengan takfir, ia merupakan hak Allah. Sehingga, tidak boleh menjatuhkan vonis kafir,kecuali terhadap orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya” [6]
[6]. Ar-Radd Alal Bakri
(II/493)
Beliau
rahimahullah juga mengatakan, ungkapan tentang hakikat-hakikat iman dengan
menggunakan Al-Qur’an lebih Iebih utama daripada menggunakan ungkapan
selainnya. Ungkapan Al-Qur’an wajib diimani, karen ia merupakan wahyu yang
diturunkan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. [8]
[8]. An-Nubuwwat,
(II/876)
Demikian
juga ungkapan, “Barangsiapa tidak
mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir”, maka kaidah ini harus diperjelas
maksudnya.
Jika
maksudnya tidak meyakini kekafiran orang-orang yang telah dinyatakan kafir oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti
Fir’aun, Abu Lahab dan sejenisnya, maka ia kafir.
Atau
juga mengatakan Yahudi, Nasrani, Majusi atau sejenisnya bukan kafir, bahkan
meyakini mereka termasuk sebagai kaum muslimin, dan kaidah tersebut dianggap
benar, konsekwensinya orang itu tidak berlepas diri dari orang-orang kafir
tersebut.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Yang
artinya, “.....
Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka...”. [Al-Maidah : 51]
Dengan
demikian ia telah menentang hukum Allah yang telah menjatuhkan vonis kafir
terhadap orang-orang tersebut. Seperti halnya orang-orang yang meyakini
kesatuan agama. Yaitu mereka bekeyakinan semua agama adalah sama. Beranggapan
bahwa orang Nasrani dan Yahudi juga merupakan orang-orang muslim mukmin, ; maka
orang yang berkeyakinan seperti itu bisa jatus vonis kafir,apabila telah
terpenuhi syarat-syarat takfir dan tida ada lagi penghalangnya.
Syaikh Bakar Abu Zaid menjelaskan masalah ini sebagai berikut;
“Setiap muslim yang mengimani Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul-Nya, (ia) wajib mentaati Allah dengan membenci orang-orang kafir, Yahudi, Nasrani dan kaum kafir lainnya. Wajib memusuhi mereka karena Allah, tidak mencintai dan mengasihi mereka, tidak loyal dan tidak menyerahkan urusan kepada mereka, sehingga mereka beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, memeluk Islam sebagai agama mereka, dan beriman kepada Muhammad sebagai nabi dan rasul mereka.
Syaikh Bakar Abu Zaid menjelaskan masalah ini sebagai berikut;
“Setiap muslim yang mengimani Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul-Nya, (ia) wajib mentaati Allah dengan membenci orang-orang kafir, Yahudi, Nasrani dan kaum kafir lainnya. Wajib memusuhi mereka karena Allah, tidak mencintai dan mengasihi mereka, tidak loyal dan tidak menyerahkan urusan kepada mereka, sehingga mereka beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, memeluk Islam sebagai agama mereka, dan beriman kepada Muhammad sebagai nabi dan rasul mereka.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
Yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. [Al-Maidah : 51]
Di
antara bukti terputusnya wala (loyalitas) antara kita dengan mereka, ialah
tidak adanya waris-mewarisi antara muslim dan kafir selama-lamanya. Setiap
muslim wajib meyakini kekufuran setiap orang yang menolak memeluk Dienul Islam
dari kalangan Yahudi, Nasrani maupun selainnya. Wajib menamainya kafir. Wajib
meyakini mereka sebagai musuh, dan meyakini mereka sebagai penduduk neraka.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Yang artinya,
“Katakanlah :
"Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu
Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu
kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada
kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat
petunjuk”. [Al-A’raaf
: 158]
Di dalam
Shahih Muslim diriwayatkan, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bahwa beliau bersabda,
Artinya, “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa, melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka”.
Oleh karena itu pula, barangsiapa tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani, maka dia kafir. Ini sebagai konsekuensi dari kaidah syari’at, “barangsiapa tidak megkafirkan orang kafir, maka ia kafir”.
Kita mengatakan kepada ahli Kitab, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengatakan di dalam Kitab-Nya.
Artinya, “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa, melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka”.
Oleh karena itu pula, barangsiapa tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani, maka dia kafir. Ini sebagai konsekuensi dari kaidah syari’at, “barangsiapa tidak megkafirkan orang kafir, maka ia kafir”.
Kita mengatakan kepada ahli Kitab, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengatakan di dalam Kitab-Nya.
Yang artinya,
“... berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu....”. [An-Nisa : 171]
Sehingga,
siapapun pada hari ini, tidak dibenarkan tetap bertahan memegang dua syariat
tersebut, yaitu agama Yahudi dan Nasrani. Apalagi memeluk salah satu dari
keduanya. Tidak dibenarkan memeluk agama, selain agama Islam. Dan tidak
dibenarkan berpredikat selain sebagai muslim, atau sebagai pengikut millah iberahim.
[9]
[9]. Lihat buku
Al-Ibhtal, Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid
Adapun
orang-orang yang masih diperselisihkan status kekafirannya oleh para ulama,
misalnya orang yang meninggalkan shalat, atau orang yang jelas melakukan amalan
kekufuran namun syarat jatuhnya vonis kafir terhadap mereka belum terpenuhi,
dan belum hilang penghalang-penghalang jatuhnya vonis kafir; maka penerapan
kaidah tersebut terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dalam menjatuhkan
vonis kafir merupakan perkara besar yang akan membuka pintu-pintu kejelekan,
pertumpahan darah dan fitnah.
Di antara ushul Islam, yaitu wajib meyakini kekafiran orang yang tidak masuk ke dalam agama Islam dari kalangan Yahudi dan Nasrani dan selain mereka, menyebutnya kafir, bagi yang telah tegak atasnya hujjah, meyakini bahwa ia musuh Allah, musuh Rasul-Nya dan musuh orang-orang beriman, dan meyakini bahwa ia ahli neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Yang artinya, “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. [Al-Bayyinah : 1]
Di antara ushul Islam, yaitu wajib meyakini kekafiran orang yang tidak masuk ke dalam agama Islam dari kalangan Yahudi dan Nasrani dan selain mereka, menyebutnya kafir, bagi yang telah tegak atasnya hujjah, meyakini bahwa ia musuh Allah, musuh Rasul-Nya dan musuh orang-orang beriman, dan meyakini bahwa ia ahli neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Yang artinya, “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. [Al-Bayyinah : 1]
Yang artinya,
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan
masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk”. [Al-Bayyinah : 6]
Yang artinya, “Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)”. [Al-An’am : 19]
yang artinya, “(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui ...”. [Ibrahim : 52]
Yang artinya, “Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)”. [Al-An’am : 19]
yang artinya, “(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui ...”. [Ibrahim : 52]
Demikian
ayat-ayat yang menyebutkan tentang kekafiran ahli kitab, dan masih banyak
ayat-ayat lain yang semakna dengan itu.
Telah pula diriwayatkan dalam shahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Artinya, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani, lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa, melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka”.
Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani, maka ia kafir. Yakni mengikuti kaidah sayari’at, “barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir sesudah hujjah tegak atas diri orang kafir tersebut, maka ia kafir”. [10]
Telah pula diriwayatkan dalam shahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Artinya, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani, lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa, melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka”.
Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani, maka ia kafir. Yakni mengikuti kaidah sayari’at, “barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir sesudah hujjah tegak atas diri orang kafir tersebut, maka ia kafir”. [10]
[10]. Fatawa Lajnah
Daimah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy
Dalam
fatwa yang ditanda tangani oleh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Abdur-Razzaq
Afifi, Abdullah bin Ghudayyan dan Abdullah bin Qu’ud, diajukan sebuah
pertanyaan sebagai berikut.
Pertanyaan, “Kami ingin mengetahui hukum orang yang tidak mengakfirkan orang kafir”.
Jawab, “Barangsiapa yang telah ditetapkan kekafirannya, maka wajib diyakini kekafirannya, menghukuminya dengan hukum kafir. Dan waliyul amri (pemerintah) berhak menjalankan hukuman riddah (murtad) atasnya, jika ia tidak bertaubat. Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah ditetapkan kekafirannya, maka ia kafir; kecuali jika ia masih memiliki syubhat (keragu-raguan) dalam masalah tersebut. Maka ia harus menghilangkan syubhat itu darinya”.
Wabillahit-taufiq, shalawat dan salam semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas keluarga dan para sahabat beliau. [11]
Pertanyaan, “Kami ingin mengetahui hukum orang yang tidak mengakfirkan orang kafir”.
Jawab, “Barangsiapa yang telah ditetapkan kekafirannya, maka wajib diyakini kekafirannya, menghukuminya dengan hukum kafir. Dan waliyul amri (pemerintah) berhak menjalankan hukuman riddah (murtad) atasnya, jika ia tidak bertaubat. Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah ditetapkan kekafirannya, maka ia kafir; kecuali jika ia masih memiliki syubhat (keragu-raguan) dalam masalah tersebut. Maka ia harus menghilangkan syubhat itu darinya”.
Wabillahit-taufiq, shalawat dan salam semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas keluarga dan para sahabat beliau. [11]
[11]. Fatawa Lajnah
Daimah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy,
pertanyaan kedua dari fatwa no. 6201
Demikianlah
perincian yang dijelaskan oleh para ulama berkenan dengan kaidah tersebut.
SIAPAKAH JAMA’AH TAKFIR WAL HIJRAH
Syaikh
Nashir bin Abdul Karim Al-Aql menjelaskan secara sekilas tentang jama’ah ini
sebagai berikut.
Jama’ah takfir wal hjrah merupakan bukti keberadaan Khawarij pada abad ini. Mereka menamakan diri Jama’atul Muslimin. Muncul di Mesir dan diprakarsai Syukri Musthafa, seroang mahasiswa fakultas pertanian di Asyuth (Universitas Asyuth).
Pemikiran-pemikiran Khawarij menghinggapi pikirannya setelah ia dihukum sekitar tahun 1385H. Dia banyak mendapatkan paham ini ketika berada di dalam penjara, hingga sekitar tahun 1391H. Akhirnya jama’ahnya bertambah besar dan pemikirannya kian berkembang. Sikap mereka sangat berlebih-lebihan, hingga tokoh-tokoh mereke terbunuh setelah mereka menculik Dr Muhamamd Hussain Adz-Dzahabi.
Saya tidak bermaksud menceritakan sejarah dan kejadiannya di sini. Hanya saja yang terpenting bagi kita perlu mengetahui dasar, ciri-ciri dan sikap mereka, serta sebab-sebab yang membuat mereka sebagai pengikut hawa nafsu (Khawarij). Kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dasar pemikiran dan cirri-ciri Khawarij pada abad ini (jama’ah takfir wal hijrah) sebagai berikut,
Jama’ah takfir wal hjrah merupakan bukti keberadaan Khawarij pada abad ini. Mereka menamakan diri Jama’atul Muslimin. Muncul di Mesir dan diprakarsai Syukri Musthafa, seroang mahasiswa fakultas pertanian di Asyuth (Universitas Asyuth).
Pemikiran-pemikiran Khawarij menghinggapi pikirannya setelah ia dihukum sekitar tahun 1385H. Dia banyak mendapatkan paham ini ketika berada di dalam penjara, hingga sekitar tahun 1391H. Akhirnya jama’ahnya bertambah besar dan pemikirannya kian berkembang. Sikap mereka sangat berlebih-lebihan, hingga tokoh-tokoh mereke terbunuh setelah mereka menculik Dr Muhamamd Hussain Adz-Dzahabi.
Saya tidak bermaksud menceritakan sejarah dan kejadiannya di sini. Hanya saja yang terpenting bagi kita perlu mengetahui dasar, ciri-ciri dan sikap mereka, serta sebab-sebab yang membuat mereka sebagai pengikut hawa nafsu (Khawarij). Kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dasar pemikiran dan cirri-ciri Khawarij pada abad ini (jama’ah takfir wal hijrah) sebagai berikut,
Ke-satu :
Mengkafirkan,
Hal ini mencakup,
1.
Mengkafirkan para pelaku dosa besar dan menganggap mereka keluar dari agama dan
kekal selamanya di dalam neraka, sebagaimana pendapat Khawarij terdahulu.
2.
Menganggap kafir siapa saja yang berbeda dengan mereka dari kalangan kaum
muslimin (ulama atau lainnya), dan menjatuhkan vonis kafir ini secara mu’ayyan
(terarah kepada person tertentu)
3.
Mengkafirkan siapa saja yang keluar dari jama’ah mereka yang dahulu pernah
bersama mereka, atau orang yang berbeda dengan dasar mereka.
4.
Mengkafirkan masyarakat muslim (yang bukan dari mereka), dan menghukuminya
sebagai masyarakat jahiliyah.
5.
Menganggap kafir siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara
mutlak dan tanpa perincian.
6.
Mengkafirkan siapa saja yang tidak mau hijrah kepada mereka dan orang yang
tidak mau memboikot masyarakat dan yayasan-yayasan (organisasi-organisasi).
7.
Mengangap kafir secara mutlak orang yang tidak mengkafirkan orang kafir menurut
mereka.
Ke-dua :
Kewajiban
HIjrah dan Uzlah (menyendiri), Hal ini mencakup,
1.
Meninggalkan masjid kaum muslimin dan tidak boleh shalat di dalamnya, walaupun
harus meninggalkan shalat jum’at.
2. Tidak
bergaul dengan masyarakat muslim yang ada di sekitarnya secara mutlak.
3. Tidak
ikut belajar dan mengajar, serta mengharamkan masuk ke universitas-universitas
dan sekolah-sekolah.
4. Tidak
membolehkan menjadi pegawai negeri dan tidak boleh bekerja pada yayasan-yayasan
umum, serta mengharamkan bekerja di lingkungan yang mereka sebut sebagai
masyarakat jahiliyah, yaitu siapa saja yang bukan dari golongan mereka.
Ke-tiga :
Mengajak
umat agar buta huruf dan memerangi pendidikan.
Hal ini
mereka serukan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
beliau merupakan orang-orang yang buta huruf, kecuali sebagian kecil saja.
Mereka
beranggapan, tidak mungkin seseorang menggabungkan antara mencari ilmu dunia
dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti; shalat, puasa, haji,
do’a, dzikir, membaca Al-Qur’an, berjihad dan berdakwah. Menurut mereka,
seorang muslim bisa mengetahui ilmu agama sekedar apa yang ia butuhkan, dengan
hanya mendengarkan langsung tanpa harus belajar tulis baca terlebih dahulu, dan
berbagai bentuk syubhat lainnya.
Ke-empat :
Sikap
diam dan klarifikasi (Kaidah Tabayyun)
Yang
mereka maksudkan dalam hal ini, yakni sama dengan maskud pendahulu mereka,
yaitu Khawarij terdahulu.
Yakni
tawaqquf (tidak menilai) terhadap seseorang yang masih belum jelas statusnya,
apakah dari kelompok mereka atau bukan. Mereka tidak menghukuminya kafir dan
tidak mengatakan ia muslim, kecuali setelah jelas jika ia dari kelompok mereka
dan telah memba’iat imam mereka. Setelah itu, barulah seseorang tesebut menjadi
seorang muslim. Bila tidak, maka ia kafir.
Ke-lima :
Mereka
mengatakan, tokoh mereka (yaitu, Syukri Musthafa) sebagai imam mahdi yang
muncul pada akhir zaman, dan Allah akan memenangkan agama ini dengannya, dari
agama lain di muka bumi.
Ke-enam :
Mereka
memiliki anggapan, jama’ah mereka merupakan jama’ah kaum muslimin, jama’ah
akhir zaman yang akan membunuh Dajjal. Dan menurut mereka, waktu munculnya
Dajjal serta turunnya Isa Alaihis Sallam sudah dekat.
Ke-tujuh :
Mereka
mengatakan, bahwa kewajiban syariat bisa saling berbenturan.
Maksud
mereka dari anggapan ini, yaitu dibolehkan meninggalkan sebagian kewajiban-kewajban
ketika ada hal yang lebih besar yang tidak bisa kita lakukan, kecuali dengan
meninggalkan syari’at tersebut.
Mereka
meninggalkan shalat Jum’at, karena menganggap mereka dalam masa lemah, padahal
syarat Jum’at ialah bila telah adanya kekuasaan. Sebagian kalangan mereka
membolehkan mencukur jenggot, dengan dalih jenggot akan mempersempit ruang
gerak dan bahaya bagi mereka.
Ke-delapan :
Dasar-dasar
dan cirri-ciri bid’ah lainnya, seperti,
1.
Pendapat tentang adanya fase hukum. Yaitu ; mereka dibolehkan meninggalkan
sebahagian syari’at (shalat Jum’at dan shalat Id), serta boleh melakukan
sebahagian yang diharamkan, seperti ; menikah dengan wanita kafir, mencukur
jenggot dan memakan sembelihan orang kafir, karena mereka berada dalam fase
lemah, sebagaimana pada masa dakwah Nabi di Mekkah
2.
membuat dasar syari’at baru yang berbeda dengan manhaj Salaf. Mereka menolak
ijma, melarang taklid dan ittiba (mencontoh) secara mutlak, sehingga mereka
mewajibkan semua manusia untuk berijtihad.
3.
Mereka tidak berpedoman kepada pemahaman para sahabat, ulama dan para imam
dalam memahami Al-Qur’an dan hadits.
4.
Mereka tidak mengakui khilafah Islamiyah setelah abad keempat, dan menganggap
kafir abad-abad sesudah itu.
5.
Mereka bersikap keras dan kasar dalam bergaul
6.
Mereka merasa berilmu, sombong dan merasa lebih istimewa dari kaum muslimin
yang lain.
7.
Mereka menghalalkan darah dan menculik orang yang berbeda dengan mereka, bagi
yang pernah bersama dengan mereka, dan menyebutnya sebagai orang murtad atau
sebutan lainnya dari kalangan kaum muslimin. Aksi yang pernah mereka lakukan,
yaitu menculik dan membunuh Syaikh Dr. Muhammad Hussain Adz-Dzahabi, menculik
sebagian orang yang telah keluar dari jama’ah mereka dan menghabisinya, persis
seperti perbuatan kaum Khawarij. Kita memohon keafi’atan dan keselamatan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
8. Di
kalangan mereka cepat terjadi perpecahan, permusuhan dan saling memakan di
antara mereka sendiri. [12]
[12]. Al-Khawawij,
Syaikh Dr Nashir Al-Aql, hal. 132
PENETAPAN HUKUM KAFIR DISERAHKAN
KEPADA KALANGAN KHUSUS ULAMA
Dalam
masalah menjatuhkan hukum kafir, Syaikh Shalih Al-Fauzan megatakan : “Tidak
semua orang berhak menjatuhkan vonis kafir, atau berbicara tentang vonis kafir
terhadap jama’ah tertentu, atau orang tertentu. Takfir memiliki batasan-batasan
dan kaidah. Barangsiapa melakukan salah satu dari pembatal-pembatal Islam,
makaia dihukumi kafir”.
Kemudian beliau melanjutkan :
Takfir merupakan masalah yang sangat berbahaya. Tidak sembarang orang bodoh berbicara tentang masalah ini terhadap orang lain. Kewenangan ini merupakan milik mahkamah syar’i, merupakan kewenangan ahli ilmu yang luas ilmunya, yang mengetahui Islam dan mengetahui pembatal-pembatalnya, mengetahui kondisi serta keadaan manusia dan masyarakat. Mereka inilah yang berhak menjatuhkan vonis kafir.
Adapun orang-orang jahil dan anggota masyarakat serta para pelajar, mereka tidak berhak menjatuhkan hukum kafir terhadap diri orang tertentu, atau jama’ah tertentu, atau negara tertentu. Karena mereka bukan orang yang ahli dalam bidang tersebut. [13]
Kemudian beliau melanjutkan :
Takfir merupakan masalah yang sangat berbahaya. Tidak sembarang orang bodoh berbicara tentang masalah ini terhadap orang lain. Kewenangan ini merupakan milik mahkamah syar’i, merupakan kewenangan ahli ilmu yang luas ilmunya, yang mengetahui Islam dan mengetahui pembatal-pembatalnya, mengetahui kondisi serta keadaan manusia dan masyarakat. Mereka inilah yang berhak menjatuhkan vonis kafir.
Adapun orang-orang jahil dan anggota masyarakat serta para pelajar, mereka tidak berhak menjatuhkan hukum kafir terhadap diri orang tertentu, atau jama’ah tertentu, atau negara tertentu. Karena mereka bukan orang yang ahli dalam bidang tersebut. [13]
[13] Al-muntaqa min
Fatawihi (I/12)
Maraji’,
[1]. Al-Ajwaibah Al-Mutalaimah,
Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid
[2]. Al-Ibthal, Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid
[3]. Al-Khawarij, Abdul Karim Al-Aql
[4]. An-Nubuwwah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[5]. Ar-Radd Alal Bakri, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[6]. Ar-Risalah Ad-Tadmurriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[7]. At-Tabsir bi Qawaidut-Takfir, Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid
[8]. At-Ta’rif wat Tanbi’ah, Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid
[9]. Fatawa Lajnah Da’imah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy
[10]. Majmu Fatawa Syaihul Islam Ibnu Taimiyyah
[11]. Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[12]. Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah Fi Ushulil Aqidah As-Salafiyah
[13]. Mukhtashar Ash-Shawaiqul Mursalah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[14]. Nawaqidhul Iman Al-Qauliyah wal Amaliyah, Dr Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Al-Abdul Al-Lathif
[2]. Al-Ibthal, Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid
[3]. Al-Khawarij, Abdul Karim Al-Aql
[4]. An-Nubuwwah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[5]. Ar-Radd Alal Bakri, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[6]. Ar-Risalah Ad-Tadmurriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[7]. At-Tabsir bi Qawaidut-Takfir, Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid
[8]. At-Ta’rif wat Tanbi’ah, Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid
[9]. Fatawa Lajnah Da’imah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy
[10]. Majmu Fatawa Syaihul Islam Ibnu Taimiyyah
[11]. Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[12]. Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah Fi Ushulil Aqidah As-Salafiyah
[13]. Mukhtashar Ash-Shawaiqul Mursalah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[14]. Nawaqidhul Iman Al-Qauliyah wal Amaliyah, Dr Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Al-Abdul Al-Lathif
----------------------------------------------------------------------------------
dari majalah
As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007
Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
----------------------------------------------------------------------------------
Keterangan,
Pemberian foto bukan dengan niat yang buruk, hanya sebagai
ilustrasi untuk menambah daya pikat bagi kaum muslimin dan muslimat dalam
membaca dan mempelajari tulisan ini