web widgets

Minggu, 22 April 2012

BAHAYA MENCEMOOH AGAMA


Diantara sifat orang beriman adalah mengagungkan Allah dan mengagungkan apa-apa yang diagungkan oleh Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. [Al Hajj : 32]

Namun di zaman ini, banyak orang meremehkan, merendahkan, dan memperolok-olok sesuatu yang berkaitan dengan agama. Hal ini merupakan perkara yang sangat berbahaya. Maka sepantasnya seseorang mengetahui bahaya istihza’ terhadap agama.

Istihza’, artinya : mengejek, memperolok-olok, atau mencemooh. Istihza’ terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya, agama-Nya, dan istihza’ kepada orang-orang yang beriman, merupakan perilaku orang kafir, dan termasuk perkara yang menyebabkan murtad jika dilakukan oleh orang Islam.


ISTIZHA’ TERHADAP ALLAH


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" 
[At Taubah : 65]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, bahwa semata-mata istihza’ terhadap Allah merupakan kekafiran, istihza’ terhadap Rasul merupakan kekafiran, dan istihza’ terhadap ayat-ayat Allah juga merupakan kekafiran. Istihza’ terhadap perkara-perkara di atas saling berkaitan. [1]


[1]. Lihat Majmu’ Fatawa (15/48)

Sebab turunnya ayat ini, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata, Pada suatu hari, di satu majelis dalam perang Tabuk, seorang laki-laki berkata “Aku tidak pernah melihat semisal para qari’ (ahli Al Qur’an atau ahli agama) kita ini, lebih rakus perutnya, lebih dusta lidahnya, dan lebih penakut di saat pertempuran”.
Lalu seorang laki-laki di majelis itu berkata, “Engkau dusta, tetapi engkau seorang munafik. Aku benar-benar akan memberitahukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”.  Dan Al Qur’an turun.

Abdullah bin Umar berkata, “Maka aku melihat laki-laki itu bergantung pada kendali onta Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, batu-batu melukai kakinya, dan dia mengatakan,  “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”.
Rasulullah, berkata, “Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?”  [At Taubah:65]  [2]

[2]. HR Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir Ath Thabari, dinukil dari Ash Shahihul Musnad Min Asbabiln Nuzul, hlm. 122-123, karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i

Istihza’ yang mereka lakukan di atas menyebabkan kemurtadan mereka, sebagaimana pada ayat berikutnya,

“Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman...”.  [At Taubah : 66]

Sebagian orang berpendapat, mereka itu semenjak awalnya adalah orang-orang munafik. Namun pendapat ini tidak kuat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,  “Pendapat orang yang mengatakan tentang semisal ayat-ayat ini bahwa mereka telah kafir sesudah keimanan mereka dengan lidah mereka, sedangkan hati mereka kafir semenjak awal; pendapat ini tidak benar. Karena iman dengan lidah bersamaan dengan kekafiran hati, berarti kekafiran selalu menyertainya, sehingga tidak dikatakan;  “kamu telah kafir sesudah keimanan kamu”, karena hakikatnya mereka terus sebagai orang kafir. Dan jika dimaksudkan “bahwa kamu menampakkan kekafiran setelah kamu menampakkan keimanan”, maka mereka itu tidaklah menampakkan kekafiran kepada semua manusia, kecuali kepada orang-orang dekat mereka. Mereka bersama orang-orang dekat mereka selalu begitu. Bahkan (yang benar), ketika mereka berbuat nifak dan takut akan diturunkan terhadap mereka surat yang menerangkan kemunafikan yang tersembunyi di dalam hati mereka, mereka(pun) berbicara dengan istihza’. Mereka menjadi orang-orang kafir setelah keimanan mereka. Lafazh itu tidak menunjukkan bahwa mereka munafik semenjak dahulu”. [3]

[3]. Al Iman, hlm. 259, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, takhrij Al Albani


ISTIZHA’ TERHADAP AYAT

Ini merupakan perbuatan orang kafir yang akan mendapatkan siksa yang pedih!

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa, dia mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan dia tidak mendengarnya. Maka beri khabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. Dan apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat Kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh azab yang menghinakan”.  [Al Jaatsiyah : 7-9]

Allah telah melarang umat Islam duduk bersama orang-orang kafir yang sedang memperolok-olok ayat-ayat-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”.  [An Nisaa’ : 140]

Oleh karena itu, barangsiapa mendengar orang-orang yang memperolok-olok ayat-ayat Allah, sedangkan dia duduk bersama mereka dengan ridha, maka dia sama dengan mereka di dalam dosa, kekafiran, dan keluar dari Islam.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah ditanya tentang orang yang bersendau-gurau dengan sesuatu dari ayat-ayat Allah, beliau berkata, “Dia kafir”. Beliau berdalil dengan ayat 65 surah At Taubah. [4]

[4]. Ash Sharimul Maslul, hlm. 513, dinukil dari Syarh Nawaqidhul Islam, hlm. 74, karya Syaikh Abu Usamah bin Ali Al ‘Awaji.


ISTIZHA’ TERHADAP RASUL

Demikian juga istihza’ terhadap Rasul, merupakan kebiasaan orang-orang kafir semenjak dahulu.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokan mereka”.  [Al An’aam : 10]

Adapun orang yang hatinya terdapat keimanan, tidak mungkin mencela dan memperolok-olok manusia pilihan Allah; manusia yang wajib dicintai, dihormati, dan diagungkan sesuai dengan kedudukannya yang agung di sisi Allah.


ISTIZHA’ AGAMA

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal”.  [Al Maa’idah : 58]

Istihza’ terhadap agama juga merupakan kekafiran. Seperti istihza’ terhadap pahala dan siksa Allah, istihza’ terhadap shalat, istihza’ terhadap syari’at memelihara lihyah (jenggot dan jambang) bagi laki-laki, istihza’ terhadap larangan isbal (pakaian laki-laki menutupi mata kaki), dan lainnya.


ISTIZHA’ ORANG BERIMAN

Hai ini juga merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Mereka akan mengetahui balasannya di hari kiamat kelak. Mereka biasa menertawakan orang-orang yang beriman di dunia, karena keimanan mereka, maka orang-orang beriman akan membalas menertawakan mereka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya”.
  [Al Muthaffifiin : 29-30]


BENTUK ISTIHZA’

Dilihat dari bentuknya, sebagian ulama membagi istihza’ terhadap agama menjadi dua bagian.

Pertama
Istihza’ Sharih (nyata, terang-terangan). Contohnya, 

• Perkataan orang yang menjadi sebab turunnya ayat 65 surat At Taubah, yang mengatakan tentang Nabi dan para sahabat dengan perkataan: “Aku tidak pernah melihat semisal para qari’ (ahli Al Qur’an atau ahli agama) kita ini, lebih rakus perutnya, lebih dusta lidahnya, dan lebih penakut di saat pertempuran”.
• Mengejek agama dengan perkataan “agama kamu ini agama ke lima”.
• Mengejek agama dengan perkataan “agama kamu ini sudah usang (kuno)”.
• Ketika melihat orang beramar ma’ruf nahi munkar, mengatakan “datang ahli agama”, “datang orang ‘alim”, yang maksudnya untuk merendahkan dan menertawakan. Dan semacamnya.

Kedua 
Istihza’ Ghairush Sharih (tidak nyata, tidak terang-terangan). Contohnya,

• Mengedipkan mata, menjulurkan lidah, mencibirkan bibir, mencubit dengan tangan, saat dibacakan Al Qur’an atau hadits Nabi atau ketika seseorang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
• Mengatakan “agama Islam tidak pantas pada abad ini, hanya pantas untuk abad pertengahan, abad onta”.
• Mengatakan “agama Islam agama kemunduran, terbelakang”.
• Mengatakan “hukuman dalam agama Islam kejam, biadab, buas, dan semacamnya”.
• Mengatakan “agama Islam menzhalimi wanita, karena membolehkan poligami”.
• Perkataan “hukum buatan manusia lebih baik dari pada hukum Islam”.
• Terhadap orang yang mendakwahkan tauhid dan melarang syirik mengatakan “orang ini ekstrimis, fundamentalis”, atau “orang ini ingin memecah-belah umat Islam”, atau “orang ini Wahhabi”, dan semacamnya.
• Terhadap orang yang menyerukan Sunnah Nabi mengatakan “agama bukan pada rambut”, atau “agama bukan pada pakaian”, atau semacamnya. [5]

[5]. Lihat Majmu’atut Tauhid An Najdiyah, hlm. 409; Kitab At Tauhid, hlm. 43-44, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Penerbit Darul Qasim, Cet. 2, Th. 1421 H / 2000 M; At Tibyan Syarh Nawaqidhul Islam, hlm. 47, karya Syaikh Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al ‘Ulwan, Penerbit Darul Muslim, Cet. 6, Th: 1417 H / 1996 M.

Sebagai penutup tulisan ini, kami sampaikan firman Allah yang memberitakan tentang balasan pedih terhadap orang-orang yang menjadikan ayat-ayat Allah

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Dan dikatakan (kepada mereka): "Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak memperoleh penolong.
Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat”.   [Al Jatsiyah : 34-35]



Semoga Allah selalu membimbing kita di atas kebenaran.


-------------------------------------------------------------------------
dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VIII/1425H/2004M
Oleh, Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta
-------------------------------------------------------------------------


Keterangan,
Pemberian foto bukan dengan niat yang buruk, hanya sebagai ilustrasi untuk menambah daya pikat bagi kaum muslimin dan muslimat dalam membaca dan mempelajari tulisan ini