Bersumpah,
artinya menguatkan suatu obyek pembicaraan dengan menyebut sesuatu yang
diagungkan dengan lafazh yang khusus. Yaitu dengan menggunakan salah satu di
antara huruf sumpah ba`, wawu, atau ta` (dalam bahasa Arab) [1]. Yakni dengan mengatakan billahi, wallahi, atau
tallahi, yang artinya demi Allah.
[1]. Al Qaulul Mufid
: 2/213.
Dengan
demikian, di dalam sumpah terkandung sikap pengagungan kepada yang namanya
disebut dalam sumpah tersebut. Sedangkan pengagungan termasuk jenis ibadah yang
tidak boleh ditujukan, kecuali hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena
itu, bersumpah adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah saja
dengan mengatakan demi Allah saja!
Berdasarkan hal itu, maka bersumpah dengan menyebut nama selain nama Allah adalah perbuatan syirik. Sebab dalam sumpah tersebut terkandung pengagungan kepada selain Allah, berdasarkan hadits dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik". [2]
Berdasarkan hal itu, maka bersumpah dengan menyebut nama selain nama Allah adalah perbuatan syirik. Sebab dalam sumpah tersebut terkandung pengagungan kepada selain Allah, berdasarkan hadits dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik". [2]
[2]. Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim, seperti yang dikutip Ibnu Katsir dalam tafsrinya (1/57).
Syaikh Sulaiman berkata dalam Taisirul Aziz (hal 587): ‘Sanadnya jayyid’.
Yang dimaksud bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, yang dianggap musyrik- maksudnya, mencakup segala sesuatu selain Allah, baik itu Ka'bah, rasul, langit, malaikat dan lain-lain. Misalnya, yaitu dengan mengatakan “demi Ka'bah”, atau “demi Rasulullah”, “demi Jibril”, demi cintaku kepadamu, demi langit yang luas, dan seterusnya. Tetapi, larangan ini tidak mencakup sumpah dengan menyebut sifat Allah, karena sifat itu mengikuti Dzat yang disifatinya (Allah). Oleh karena itu, kita boleh mengatakan "demi kemuliaan Allah…”. [3]
[3]. Opcit.
Karena
besarnya dosa bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, sehingga Abdullah
bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Kalau
aku bersumpah dengan menyebut nama Allah dengan kedustaan, maka hal itu lebih
aku sukai daripada bersumpah secara jujur dengan menyebut selain nama
Allah" [4].
[4]. Dikeluarkan oleh
Abdur Razaq 8/469, Thabari dalam Al Kabir (8902). Al Mundziri berkata dalam At
Targhib 3/607 dan Al Haitsami dalam Majma'uz Zawaid 4/177 :" Para
perawinya merupakan para perawi (kitab) Shahih."
Bersumpah
dengan menyebut nama Allah untuk suatu kebohongan merupakan termasuk dosa
besar, akan tetapi, dosanya lebih ringan daripada bersumpah secara jujur,
tetapi dengan menyebut selain nama Allah dalam sumpahnya.
Bersumpah palsu dengan menyebut nama
Allah adalah diharamkan.
Pertama : Hal itu termasuk kebohongan, dan kebohongan adalah diharamkan.
Kedua : Kebohongan ini disandingkan dengan sumpah,
sedangkan sumpah adalah pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Apabila
sumpahnya untuk suatu kebohongan, berarti di dalamnya terkandung sikap tanaqqus
(penghinaan) terhadap Allah, karena menjadikan nama-Nya sebagai penguat
kebohongan. Oleh karena itu, bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu
kebohongan, menurut sebagian ulama termasuk sumpah palsu yang menyebabkan
pelakunya terjerumus kepada dosa, kemudian ke neraka.
Adapun bersumpah secara jujur dengan menyebut selain nama Allah, maka ini juga diharamkan karena satu alasan, yaitu syirik. Bahaya syirik lebih besar daripada keburukan dusta, dan lebih besar pula dosanya daripada keburukan bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan. Juga lebih besar pula dosanya daripada sumpah palsu, apabila kita katakan bahwa bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan termasuk sumpah palsu;
Adapun bersumpah secara jujur dengan menyebut selain nama Allah, maka ini juga diharamkan karena satu alasan, yaitu syirik. Bahaya syirik lebih besar daripada keburukan dusta, dan lebih besar pula dosanya daripada keburukan bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan. Juga lebih besar pula dosanya daripada sumpah palsu, apabila kita katakan bahwa bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan termasuk sumpah palsu;
karena
dosa syirik dosanya tidak akan diampuni.
Allah
berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”. [An Nisa` : 116]
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”. [An Nisa` : 116]
Tidaklah
Allah mengutus para rasul dan tidak pula menurunkan kitab, kecuali untuk
memberantas kemusyrikan ini. Karena syirik merupakan dosa yang paling besar.
Allah
berfirman,
“.... sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. [Luqman : 13]
Disebutkan dalam salah satu hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya, ”Dosa apakah yang paling besar?”
“.... sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. [Luqman : 13]
Disebutkan dalam salah satu hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya, ”Dosa apakah yang paling besar?”
Beliau
menjawab,
"Engkau membuat tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu". [5]
"Engkau membuat tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu". [5]
[5]. HR. Al Bukhari
dalam kitab tafsir bab tentang ayat :” Dan orang-orang yang tidak menyeru
kepada ilah lain selain Allah.” 3/271; . Muslim dalam kitab Iman bab Syirik
adalak seburuk-buruk dosa. 1/91 dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.
Syirik
mengandung kedustaan, karena orang yang menjadikan serikat bagi Allah adalah
pendusta, bahkan orang yang paling pendusta, karena Allah tidak memiliki sekutu.
[6]
[6]. Al Qaulul Mufid
: 2/217
Syirik besar adalah syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Sedangkan syirik kecil adalah syirik yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tetapi dia telah terjerumus ke dalam dosa besar.
Syirik besar adalah syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Sedangkan syirik kecil adalah syirik yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tetapi dia telah terjerumus ke dalam dosa besar.
Bila
seseorang yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah itu meyakini bahwa
yang namanya disebut itu dianggap sama dengan Allah dalam hal keagungan dan
pengagungan, maka dia telah melakukan syirik besar. Akan tetapi, jika tidak,
maka perbuatannya tersebut termasuk syirik kecil.
Apakah Allah mengampuni syirik kecil? Sebagian ulama mengatakan bahwa firman Allah "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik…” –QS An Nisa ayat 116-, maksudnya ialah syirik besar.
Apakah Allah mengampuni syirik kecil? Sebagian ulama mengatakan bahwa firman Allah "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik…” –QS An Nisa ayat 116-, maksudnya ialah syirik besar.
Dan Allah akan mengampuni selain itu, maksudnya ialah syirik kecil dan
dosa-dosa besar.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik sekalipun syirik kecil, karena firman Allah yang
menyatakan ‘ayyusyraka bihi’ disebut sebagai mashdar muawwal (kata kerja yang
bisa ditakwil menjadi kata benda). Dia adalah lafazh nakirah (umum) dalam
konteks nafi (menidakan). Sehingga maknanya umum, mencakup syirik besar dan
kecil.
Adapun sumpah yang Allah lakukan dengan menyebut makhlukNya, seperti : “Demi matahari” –QS Asy Syams ayat 1- atau “aku bersumpah dengan menyebut negeri ini" -QS Al Balad ayat 1- atau ayat "demi malam apabila telah gelap” –QS Al Lail ayat 1- dan ayat yang sejenis itu, maka ada dua penjelasan tentang hal ini.
Adapun sumpah yang Allah lakukan dengan menyebut makhlukNya, seperti : “Demi matahari” –QS Asy Syams ayat 1- atau “aku bersumpah dengan menyebut negeri ini" -QS Al Balad ayat 1- atau ayat "demi malam apabila telah gelap” –QS Al Lail ayat 1- dan ayat yang sejenis itu, maka ada dua penjelasan tentang hal ini.
Pertama : Ini adalah termasuk perbuatan Allah,
dan Allah tidak boleh ditanya tentang apa yang Dia lakukan. Dia boleh bersumpah
dengan menyebut apa saja yang Dia kehendaki dari kalangan makhluk-Nya. Dialah
yang akan bertanya, dan bukan yang akan ditanya. Dialah Hakim, dan bukan yang
akan dihakimi.
Kedua : Sumpah Allah dengan ayat-ayat ini
menjadi dalil tentang keagungan-Nya, kesempurnaan kekuasaan serta hikmah-Nya,
sehingga sumpah tersebut menunjukan kebesaran-Nya, serta ketinggian derajat-Nya
yang mengandung pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Oleh karena itu, kita tidak boleh bersumpah dengan menyebut selain nama Allah atau sifat-Nya. Adapun yang diterangkan dalam hadits Shahih Muslim, bahwa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Oleh karena itu, kita tidak boleh bersumpah dengan menyebut selain nama Allah atau sifat-Nya. Adapun yang diterangkan dalam hadits Shahih Muslim, bahwa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Berbahagialah dia, demi
bapaknya, bila dia benar"
[7], terdapat beberapa penjelasan sebagai
berikut :
[7]. HR. Muslim dalam
kitab Iman, bab penjelasan shalat yang merupakan salah satu rukun Islam 1/40
dari hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah Radhiyallahu 'anhu.
1). Sebagian ulama mengingkari lafazh
ini dan mengatakan, bahwa lafazh ini tidak ada dalam hadits karena bertolak
belakang dengan tauhid. Bila demikian, maka tidak boleh menisbatkan hal ini
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, hal ini adalah batil.
2). Lafazh ini merupakan penulisan dari para perawi. Asalnya ialah “berbahagialah dia, demi Allah, bila dia benar”. Mereka (para perawi) tidak memberi syakal (harakat) pada tulisan. Padahal, tulisan abihi (ابيه) serupa dengan tulisan lafzhul jalalah, Allah (اـلـله ) apabila dibuang titik-titik di bawahnya.
3). Ucapan ini merupakan ungkapan yang keluar secara spontan dari lisan, tanpa disengaja. Allah berfirman : "Allah tidak akan menghukum kalian atas sumpah-sumpah yang kalian lakukan tanpa sengaja”, dan sumpah ini tidak diniatkan, sehingga tidak akan dihukum.
4). Sumpah ini terjadi pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau adalah orang yang paling jauh dari syirik, sehingga hal ini termasuk kekhususan baginya. Adapun yang lainnya, maka dilarang dari sumpah ini, karena mereka tidak sama dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal keikhlasan dan tauhid.
5). Sumpah ini dibuang mudhafnya. Kalimat asalnya ialah “berbahagialah dia, demi –Tuhan- (mudhaf) bapaknya …”.
6). Sumpah dengan lafazh ini mansukh (dihapuskan legalisasinya) dan pelarangannyalah yang diberitakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak asal tentang masalah ini. Dan inilah pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.
2). Lafazh ini merupakan penulisan dari para perawi. Asalnya ialah “berbahagialah dia, demi Allah, bila dia benar”. Mereka (para perawi) tidak memberi syakal (harakat) pada tulisan. Padahal, tulisan abihi (ابيه) serupa dengan tulisan lafzhul jalalah, Allah (اـلـله ) apabila dibuang titik-titik di bawahnya.
3). Ucapan ini merupakan ungkapan yang keluar secara spontan dari lisan, tanpa disengaja. Allah berfirman : "Allah tidak akan menghukum kalian atas sumpah-sumpah yang kalian lakukan tanpa sengaja”, dan sumpah ini tidak diniatkan, sehingga tidak akan dihukum.
4). Sumpah ini terjadi pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau adalah orang yang paling jauh dari syirik, sehingga hal ini termasuk kekhususan baginya. Adapun yang lainnya, maka dilarang dari sumpah ini, karena mereka tidak sama dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal keikhlasan dan tauhid.
5). Sumpah ini dibuang mudhafnya. Kalimat asalnya ialah “berbahagialah dia, demi –Tuhan- (mudhaf) bapaknya …”.
6). Sumpah dengan lafazh ini mansukh (dihapuskan legalisasinya) dan pelarangannyalah yang diberitakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak asal tentang masalah ini. Dan inilah pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.
Kalau
ada yang mencoba membalikkan bahwa larangan itulah yang dimansukh, karena
ketika itu mereka baru saja lepas dari budaya syirik, sehingga mereka dilarang
berbuat syirik sebagaimana manusia pun dilarang dari ziarah kubur di awal masa
mereka bebas dari syirik, kemudian mereka diizinkan melakukannya setelah itu?
Kita jawab, bahwa sumpah ini terucap dari lisan mereka, lalu dibiarkan sehingga keimanan dalam jiwa mereka mantap, setelah itu, kemudian dilarang. Ini sama dengan dibiarkannya mereka untuk minum khamr, setelah itu mereka diperintah untuk menjauhinya.
Adapun tentang jawaban pertama di atas, maka jawaban ini lemah, karena hadits ini shahih. Oleh karena itu, selama hadits ini masih mungkin diarahkan kepada pemahaman yang shahih, maka tidak boleh diingkari.
Tentang keterangan kedua, ini pun terlalu jauh bila mungkin ditoleransi. Tidak mungkin terjadi pada ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya "shadaqah apakah yang paling utama?", beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab "adapun, demi bapakmu, kamu pasti akan diberitahu……dan seterusnya". [8]
Kita jawab, bahwa sumpah ini terucap dari lisan mereka, lalu dibiarkan sehingga keimanan dalam jiwa mereka mantap, setelah itu, kemudian dilarang. Ini sama dengan dibiarkannya mereka untuk minum khamr, setelah itu mereka diperintah untuk menjauhinya.
Adapun tentang jawaban pertama di atas, maka jawaban ini lemah, karena hadits ini shahih. Oleh karena itu, selama hadits ini masih mungkin diarahkan kepada pemahaman yang shahih, maka tidak boleh diingkari.
Tentang keterangan kedua, ini pun terlalu jauh bila mungkin ditoleransi. Tidak mungkin terjadi pada ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya "shadaqah apakah yang paling utama?", beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab "adapun, demi bapakmu, kamu pasti akan diberitahu……dan seterusnya". [8]
[8]. HR. Muslim bab
shadaqah yang paling utama adalah shadaqah orang yang sehat dan bakhil.
Penjelasan
ketiga, juga tidak benar, karena larangan itu ada, sekalipun terucap secara
spontan dari lisan, sebagaimana pernah dilakukan oleh Sa'ad, yang kemudian
dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [9].
Seandainya hal ini benar, maka boleh pula kita katakan kepada orang yang biasa
melakukan perbuatan syirik, bahwa ia tidak boleh dilarang karena ini sudah
menjadi kebiasaannya. Dan ini merupakan kebatilan.
[9]. Sa'd Bin Abi
Waqash berkata:"Aku pernah bersumpah sekali dengan menyebut Latta dan
Uzza, lalu Nabi menimpaliku : ‘Katakan
Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah. Kemudian meludahlah ke kiri 3 kali
dan kemudian berlindunglah dan jangan kamu ulangi! " Hadits ini dikeluarkan
oleh Ahmad (1/183,186,187), Ath Thahawy dalam Al Musykil (1/360) dan di
dalamnya ada perintah untuk beristighfar sebagai pengganti dari berlindung, .
dan Ibnu Hibban. Hadits ini dhaif sebagaimana dijelaskan dalam Irwaul Ghalil
(8/193).
Adapun
jawaban keempat yang mengklaim pengkhususan untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, maka hal ini membutuhkan dalil khusus. Kalau tidak ada, maka
dikembalikan kepada hukum asal, yaitu umat boleh mengikuti beliau dalam masalah
ini.
Keterangan kelima juga lemah, karena pada asalnya tidak ada lafazh yang dibuang. Lagi pula, adanya lafazh yang dibuang di sini bisa menimbulkan pemahaman yang batil. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara dengan pembicaraan yang berakibat demikian, tanpa menjelaskan yang dimaksud.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan itu, maka jawaban yang paling dekat dengan kebenaran adalah jawaban yang keenam, bahwa itu adalah mansukh (dihapuskan). Kita tidak bisa memastikan hal itu, karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. Oleh karena itu, kita katakan, itu adalah jawaban yang paling dekat, wallahu a'lam.
Sekalipun Imam An Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa sumpah ini terucap secara spontan dari lisan tanpa sengaja, akan tetapi pendapat ini lemah. Tidak mungkin kita berpendapat seperti itu. Kemudian, saya melihat sebagian ulama memastikan syadznya hadits ini, karena menyendirinya Imam Muslim dalam meriwayatkan hadits ini dari Bukhari, serta berseberangannya para perawinya dengan orang-orang yang tsiqat (terpercaya) [10]. Wallahu a'lam.
Keterangan kelima juga lemah, karena pada asalnya tidak ada lafazh yang dibuang. Lagi pula, adanya lafazh yang dibuang di sini bisa menimbulkan pemahaman yang batil. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara dengan pembicaraan yang berakibat demikian, tanpa menjelaskan yang dimaksud.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan itu, maka jawaban yang paling dekat dengan kebenaran adalah jawaban yang keenam, bahwa itu adalah mansukh (dihapuskan). Kita tidak bisa memastikan hal itu, karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. Oleh karena itu, kita katakan, itu adalah jawaban yang paling dekat, wallahu a'lam.
Sekalipun Imam An Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa sumpah ini terucap secara spontan dari lisan tanpa sengaja, akan tetapi pendapat ini lemah. Tidak mungkin kita berpendapat seperti itu. Kemudian, saya melihat sebagian ulama memastikan syadznya hadits ini, karena menyendirinya Imam Muslim dalam meriwayatkan hadits ini dari Bukhari, serta berseberangannya para perawinya dengan orang-orang yang tsiqat (terpercaya) [10]. Wallahu a'lam.
[10]. Al Qaulul Mufid
(3/ 214- 217
--------------------------------------------------------------------
Oleh, Ustadz Abu Haidar As Sundawi
Oleh, Ustadz Abu Haidar As Sundawi
Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun IX/1426H/2005M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
--------------------------------------------------------------------
Keterangan,
Pemberian foto bukan dengan niat yang buruk, hanya sebagai
ilustrasi untuk menambah daya pikat bagi kaum muslimin dan muslimat dalam
membaca dan mempelajari tulisan ini