web widgets

Selasa, 10 April 2012

Hukum Bersumpah Dengan Menyebut Nama Selain Allah


Bersumpah, artinya menguatkan suatu obyek pembicaraan dengan menyebut sesuatu yang diagungkan dengan lafazh yang khusus. Yaitu dengan menggunakan salah satu di antara huruf sumpah ba`, wawu, atau ta` (dalam bahasa Arab) [1]. Yakni dengan mengatakan billahi, wallahi, atau tallahi, yang artinya demi Allah.
[1]. Al Qaulul Mufid : 2/213.

Dengan demikian, di dalam sumpah terkandung sikap pengagungan kepada yang namanya disebut dalam sumpah tersebut. Sedangkan pengagungan termasuk jenis ibadah yang tidak boleh ditujukan, kecuali hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, bersumpah adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah saja dengan mengatakan demi Allah saja!

Berdasarkan hal itu, maka bersumpah dengan menyebut nama selain nama Allah adalah perbuatan syirik. Sebab dalam sumpah tersebut terkandung pengagungan kepada selain Allah, berdasarkan hadits dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik".  [2]

[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, seperti yang dikutip Ibnu Katsir dalam tafsrinya (1/57). Syaikh Sulaiman berkata dalam Taisirul Aziz (hal 587): ‘Sanadnya jayyid’.

Yang dimaksud bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, yang dianggap musyrik- maksudnya, mencakup segala sesuatu selain Allah, baik itu Ka'bah, rasul, langit, malaikat dan lain-lain. Misalnya, yaitu dengan mengatakan “demi Ka'bah”, atau “demi Rasulullah”, “demi Jibril”, demi cintaku kepadamu, demi langit yang luas, dan seterusnya. Tetapi, larangan ini tidak mencakup sumpah dengan menyebut sifat Allah, karena sifat itu mengikuti Dzat yang disifatinya (Allah). Oleh karena itu, kita boleh mengatakan "demi kemuliaan Allah…”[3]

[3]. Opcit.

Karena besarnya dosa bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, sehingga Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu mengatakan,  "Kalau aku bersumpah dengan menyebut nama Allah dengan kedustaan, maka hal itu lebih aku sukai daripada bersumpah secara jujur dengan menyebut selain nama Allah" [4].

[4]. Dikeluarkan oleh Abdur Razaq 8/469, Thabari dalam Al Kabir (8902). Al Mundziri berkata dalam At Targhib 3/607 dan Al Haitsami dalam Majma'uz Zawaid 4/177 :" Para perawinya merupakan para perawi (kitab) Shahih."

Bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu kebohongan merupakan termasuk dosa besar, akan tetapi, dosanya lebih ringan daripada bersumpah secara jujur, tetapi dengan menyebut selain nama Allah dalam sumpahnya.

Bersumpah palsu dengan menyebut nama Allah adalah diharamkan.

Pertama  : Hal itu termasuk kebohongan, dan kebohongan adalah diharamkan.
Kedua  : Kebohongan ini disandingkan dengan sumpah, sedangkan sumpah adalah pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Apabila sumpahnya untuk suatu kebohongan, berarti di dalamnya terkandung sikap tanaqqus (penghinaan) terhadap Allah, karena menjadikan nama-Nya sebagai penguat kebohongan. Oleh karena itu, bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu kebohongan, menurut sebagian ulama termasuk sumpah palsu yang menyebabkan pelakunya terjerumus kepada dosa, kemudian ke neraka.

Adapun bersumpah secara jujur dengan menyebut selain nama Allah, maka ini juga diharamkan karena satu alasan, yaitu syirik. Bahaya syirik lebih besar daripada keburukan dusta, dan lebih besar pula dosanya daripada keburukan bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan. Juga lebih besar pula dosanya daripada sumpah palsu, apabila kita katakan bahwa bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan termasuk sumpah palsu;
karena dosa syirik dosanya tidak akan diampuni.

Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”.  [An Nisa` : 116]

Tidaklah Allah mengutus para rasul dan tidak pula menurunkan kitab, kecuali untuk memberantas kemusyrikan ini. Karena syirik merupakan dosa yang paling besar.

Allah berfirman,

“.... sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.  [Luqman : 13]

Disebutkan dalam salah satu hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya,  ”Dosa apakah yang paling besar?”
Beliau menjawab,
"Engkau membuat tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu".  [5]

[5]. HR. Al Bukhari dalam kitab tafsir bab tentang ayat :” Dan orang-orang yang tidak menyeru kepada ilah lain selain Allah.” 3/271; . Muslim dalam kitab Iman bab Syirik adalak seburuk-buruk dosa. 1/91 dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.

Syirik mengandung kedustaan, karena orang yang menjadikan serikat bagi Allah adalah pendusta, bahkan orang yang paling pendusta, karena Allah tidak memiliki sekutu.  [6]

[6]. Al Qaulul Mufid : 2/217
Syirik besar adalah syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Sedangkan syirik kecil adalah syirik yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tetapi dia telah terjerumus ke dalam dosa besar.

Bila seseorang yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah itu meyakini bahwa yang namanya disebut itu dianggap sama dengan Allah dalam hal keagungan dan pengagungan, maka dia telah melakukan syirik besar. Akan tetapi, jika tidak, maka perbuatannya tersebut termasuk syirik kecil.

Apakah Allah mengampuni syirik kecil? Sebagian ulama mengatakan bahwa firman Allah "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik…” –QS An Nisa ayat 116-, maksudnya ialah syirik besar.
Dan Allah akan mengampuni selain itu, maksudnya ialah syirik kecil dan dosa-dosa besar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik sekalipun syirik kecil, karena firman Allah yang menyatakan ‘ayyusyraka bihi’ disebut sebagai mashdar muawwal (kata kerja yang bisa ditakwil menjadi kata benda). Dia adalah lafazh nakirah (umum) dalam konteks nafi (menidakan). Sehingga maknanya umum, mencakup syirik besar dan kecil.

Adapun sumpah yang Allah lakukan dengan menyebut makhlukNya, seperti : “Demi matahari” –QS Asy Syams ayat 1- atau “aku bersumpah dengan menyebut negeri ini" -QS Al Balad ayat 1- atau ayat "demi malam apabila telah gelap” –QS Al Lail ayat 1- dan ayat yang sejenis itu, maka ada dua penjelasan tentang hal ini.

Pertama : Ini adalah termasuk perbuatan Allah, dan Allah tidak boleh ditanya tentang apa yang Dia lakukan. Dia boleh bersumpah dengan menyebut apa saja yang Dia kehendaki dari kalangan makhluk-Nya. Dialah yang akan bertanya, dan bukan yang akan ditanya. Dialah Hakim, dan bukan yang akan dihakimi.

Kedua : Sumpah Allah dengan ayat-ayat ini menjadi dalil tentang keagungan-Nya, kesempurnaan kekuasaan serta hikmah-Nya, sehingga sumpah tersebut menunjukan kebesaran-Nya, serta ketinggian derajat-Nya yang mengandung pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Oleh karena itu, kita tidak boleh bersumpah dengan menyebut selain nama Allah atau sifat-Nya. Adapun yang diterangkan dalam hadits Shahih Muslim, bahwa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Berbahagialah dia, demi bapaknya, bila dia benar" [7], terdapat beberapa penjelasan sebagai berikut :

[7]. HR. Muslim dalam kitab Iman, bab penjelasan shalat yang merupakan salah satu rukun Islam 1/40 dari hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah Radhiyallahu 'anhu.

1). Sebagian ulama mengingkari lafazh ini dan mengatakan, bahwa lafazh ini tidak ada dalam hadits karena bertolak belakang dengan tauhid. Bila demikian, maka tidak boleh menisbatkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, hal ini adalah batil.

2). Lafazh ini merupakan penulisan dari para perawi. Asalnya ialah “berbahagialah dia, demi Allah, bila dia benar”. Mereka (para perawi) tidak memberi syakal (harakat) pada tulisan. Padahal, tulisan abihi
(ابيه) serupa dengan tulisan lafzhul jalalah, Allah (اـلـله ) apabila dibuang titik-titik di bawahnya.

3). Ucapan ini merupakan ungkapan yang keluar secara spontan dari lisan, tanpa disengaja. Allah berfirman : "Allah tidak akan menghukum kalian atas sumpah-sumpah yang kalian lakukan tanpa sengaja”, dan sumpah ini tidak diniatkan, sehingga tidak akan dihukum.

4). Sumpah ini terjadi pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau adalah orang yang paling jauh dari syirik, sehingga hal ini termasuk kekhususan baginya. Adapun yang lainnya, maka dilarang dari sumpah ini, karena mereka tidak sama dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal keikhlasan dan tauhid.

5). Sumpah ini dibuang mudhafnya. Kalimat asalnya ialah “berbahagialah dia, demi –Tuhan- (mudhaf) bapaknya …”.

6). Sumpah dengan lafazh ini mansukh (dihapuskan legalisasinya) dan pelarangannyalah yang diberitakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak asal tentang masalah ini. Dan inilah pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.

Kalau ada yang mencoba membalikkan bahwa larangan itulah yang dimansukh, karena ketika itu mereka baru saja lepas dari budaya syirik, sehingga mereka dilarang berbuat syirik sebagaimana manusia pun dilarang dari ziarah kubur di awal masa mereka bebas dari syirik, kemudian mereka diizinkan melakukannya setelah itu?

Kita jawab, bahwa sumpah ini terucap dari lisan mereka, lalu dibiarkan sehingga keimanan dalam jiwa mereka mantap, setelah itu, kemudian dilarang. Ini sama dengan dibiarkannya mereka untuk minum khamr, setelah itu mereka diperintah untuk menjauhinya.

Adapun tentang jawaban pertama di atas, maka jawaban ini lemah, karena hadits ini shahih. Oleh karena itu, selama hadits ini masih mungkin diarahkan kepada pemahaman yang shahih, maka tidak boleh diingkari.

Tentang keterangan kedua, ini pun terlalu jauh bila mungkin ditoleransi. Tidak mungkin terjadi pada ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya "shadaqah apakah yang paling utama?", beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab "adapun, demi bapakmu, kamu pasti akan diberitahu……dan seterusnya"[8]

[8]. HR. Muslim bab shadaqah yang paling utama adalah shadaqah orang yang sehat dan bakhil.

Penjelasan ketiga, juga tidak benar, karena larangan itu ada, sekalipun terucap secara spontan dari lisan, sebagaimana pernah dilakukan oleh Sa'ad, yang kemudian dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [9]. Seandainya hal ini benar, maka boleh pula kita katakan kepada orang yang biasa melakukan perbuatan syirik, bahwa ia tidak boleh dilarang karena ini sudah menjadi kebiasaannya. Dan ini merupakan kebatilan.

[9]. Sa'd Bin Abi Waqash berkata:"Aku pernah bersumpah sekali dengan menyebut Latta dan Uzza, lalu Nabi  menimpaliku : ‘Katakan Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah. Kemudian meludahlah ke kiri 3 kali dan kemudian berlindunglah dan jangan kamu ulangi! " Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (1/183,186,187), Ath Thahawy dalam Al Musykil (1/360) dan di dalamnya ada perintah untuk beristighfar sebagai pengganti dari berlindung, . dan Ibnu Hibban. Hadits ini dhaif sebagaimana dijelaskan dalam Irwaul Ghalil (8/193).

Adapun jawaban keempat yang mengklaim pengkhususan untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hal ini membutuhkan dalil khusus. Kalau tidak ada, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu umat boleh mengikuti beliau dalam masalah ini.

Keterangan kelima juga lemah, karena pada asalnya tidak ada lafazh yang dibuang. Lagi pula, adanya lafazh yang dibuang di sini bisa menimbulkan pemahaman yang batil. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara dengan pembicaraan yang berakibat demikian, tanpa menjelaskan yang dimaksud.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan itu, maka jawaban yang paling dekat dengan kebenaran adalah jawaban yang keenam, bahwa itu adalah mansukh (dihapuskan). Kita tidak bisa memastikan hal itu, karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. Oleh karena itu, kita katakan, itu adalah jawaban yang paling dekat, wallahu a'lam.

Sekalipun Imam An Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa sumpah ini terucap secara spontan dari lisan tanpa sengaja, akan tetapi pendapat ini lemah. Tidak mungkin kita berpendapat seperti itu. Kemudian, saya melihat sebagian ulama memastikan syadznya hadits ini, karena menyendirinya Imam Muslim dalam meriwayatkan hadits ini dari Bukhari, serta berseberangannya para perawinya dengan orang-orang yang tsiqat (terpercaya) [10]. Wallahu a'lam.

[10]. Al Qaulul Mufid (3/ 214- 217


--------------------------------------------------------------------
Oleh, Ustadz Abu Haidar As Sundawi
Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun IX/1426H/2005M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
--------------------------------------------------------------------


Keterangan,
Pemberian foto bukan dengan niat yang buruk, hanya sebagai ilustrasi untuk menambah daya pikat bagi kaum muslimin dan muslimat dalam membaca dan mempelajari tulisan ini